Namaku Erik, aku kuliah semester 5 Fakultas Ekonomi di salah sebuah universitas di Jakarta. Tinggiku 174 cm, kulitku putih sehingga kurasa penampilanku cukup menarik.
Ada seorang gadis bernama Marlene, mahasiswi semester 3 di kampusku. Setahuku dia adalah mahasiswi Fakultas Sastra, entah sastra Jepang atau Inggris aku tidak ingat. Aku menilai dia sangat cantik, matanya indah, kulitnya putih, rambutnya hitam agak bergelombang sepanjang pundak, tubuhnya sintal berisi dengan tinggi sekitar 160 cm. Aku mengenalnya sekitar bulan lalu saat bertemu di perpustakaan. Kami saat itu ingin meminjam buku yang sama yang ternyata tinggal tersisa satu karena yang lainnya sedang dipinjam. Saat itu aku membiarkannya meminjam buku itu dulu.
Sekarang dia ada di depanku di pelataran parkir saat aku hendak menyalakan motorku untuk pulang. Dia memakai kaos ketat pink sehingga bentuk payudaranya terlihat dengan jelas, sekitar 36C. Dia memakai rok jeans yang cukup pendek.
"Hai Erik". sapanya ramah. Wow, dia sexy juga, pikirku. Aku tak begitu memperhatikannya sewaktu kami bertemu di perpustakaan dulu.
"Aku ingin memberikan buku yang waktu itu", sergahnya.
"Oh, buku sastra itu.. Aku masih membutuhkannya sih", timpalku.
"Tadinya aku ingin memberikannya begitu aku bertemu denganmu, tapi sepertinya buku itu tertinggal di rumahku"
"Oh, tidak apa-apa, kamu bisa memberikannya besok atau aku bisa meminjam ke perpustakaan lagi"
"Umm.. Aku merasa tidak enak, aku sudah meminjamnya terlalu lama" jawabnya dengan nada gelisah.
"Bisakah kau antarkan aku ke rumahku, jadi aku bisa langsung memberikannya padamu"
Cewek ini memaksa sekali, pikirku, tapi aku tak bisa melepaskan pikiranku pada buah dadanya yang begitu montok.
"Memangnya kita searah?" tanyaku.
"Rumahmu di xx kan? Rumahku letaknya 3 blok dari rumahmu, bisa kan mengantarku?" Bagaimana dia tahu rumahku, pikirku. Tapi mengapa aku begitu jual mahal. Cewek cakep begini..
"Baiklah, ayo naik" kataku memperbolehkan. Wajahnya segera menyungging senyum, dia menaikkan pinggul sexynya ke atas jok motorku. Segera kunyalakan motor kesayanganku.
"Pegangan ya" kataku. Dia lalu memeluk pinggangku dengan erat, bisa kurasakan empuk payudaranya di punggungku. Untung hari ini aku memakai jaket yang tipis.
"Kenapa tidak jalan" tanyanya.
"Oh, maaf" gara-gara dadanya aku jadi tertegun.
Sejurus kemudian kami sudah melaju di tengah jalan raya, dadanya semakin ketat saja menempel di punggungku. Tapi aku harus berkonsentrasi mengemudikan motorku karena bisa tejadi kecelakaan kalau tidak hati-hati.
"Erik, di depan nanti belok kiri ya, yang ada pohon besar itu", aku hanya menganggukkan kepalaku. Aku pun membelokkan motorku ke kiri. Cukup jauh juga rumahnya, setelah belokan tadi sudah lebih dari 10 menit kami melaju. Tiba-tiba aku dikejutkan olehnya..
"Stop-stop, ya di ujung jalan itu" perintahnya.
Kami lalu berhenti di sebuah rumah yang agak besar tepat di ujung jalan buntu. Rumahnya bagus juga, pasti dia anak orang kaya, pikirku.
"Jadi ini rumahmu?"
"Ya, benar. Mari masuk"
Aku memarkir motorku di garasinya dan membuka sepatu. Isi rumahnya sangat rapi dan bersih, apa dia sendiri yang membersihkannya?
"Ayo naik, kamarku ada di atas" katanya.
"Rumahmu sepi sekali, mana kedua orang tuamu?"
"Ayah dan ibuku bekerja di luar negeri, sedangkan pembantuku sedang mudik lebaran. Aku sendirian"
"Hah, jadi kita hanya berdua di sini?" tanyaku penuh selidik.
Dia hanya terdiam, bodoh kenapa aku menanyakan hal itu. Lalu kami memasuki kamarnya, cukup luas juga dan wangi.
"Kamar dan rumahmu begini rapi, apa kau yang membersihkannya?"
"Yah, sedikit-sedikitlah"
"Wah hebat sekali, aku tak percaya" Dia tertawa.
"Lalu dimana bukunya?" tanyaku polos.
"Bukunya sudah kukembalikan ke perpustakaan seminggu lalu" jawabnya tanpa rasa berdosa. Aku memandang kedua matanya dengan penasaran.
"Apa!? Kau mengerjaiku ya" bentakku dengan nada tinggi.
Aku kesal juga dibawa sejauh ini hanya untuk dikerjai. Melihat aku marah dia terlihat sangat takut dan menyesal, dia menghampiriku dan memegang kedua tanganku.
"Maaf, tapi aku hanya ingin berdua bersamamu di sini"
"Jangan bercanda ah, aku mau pulang" ujarku sambil melepaskan genggamannya.
Aku terkejut karena tiba-tiba dia mencumbu bibirku dengan bibirnya yang lembut dan tipis. Tapi aku langsung menepisnya, karena biar pun aku sudah bernafsu tapi aku masih punya sedikit iman. Lagipula aku masih perjaka.
"Apa-apaan sih nih!?" Sentakku. Aku bergegas ke pintu kamar ingin segera keluar dari sana. Aku benar-benar sudah muak.
"Tunggu Erik, aku mencintaimu!" Jeritnya.
Aku terhenti dan berbalik, apa katanya, aneh sekali. Aku jadi tertarik karena menurutku aneh.
"Apa katamu?"
"Erik, kubilang aku cinta kamu" jawabnya terlihat serius.
"Aktingmu hebat sekali. Kita baru bersama selama beberapa jam dan kau bilang kau mencintaiku!? Mana mungkin"
Tiba-tiba dia menangis, perasaanku jadi berubah melihatnya menangis seperti itu.
"Kau memang jahat Erik, kau sama sekali tak ingat padaku?" Tak ingat? Memangnya siapa Marlene ini.. Hah!! Marlene, nama itu baru kali ini membuatku merasa ada yang aneh.
"Apa kau benar-benar tak ingat? Aku Marlene temanmu selama 6 tahun di bangku SD!" Hah!! Aku baru ingat. Marlene, Marlene yang biasa-biasa saja, yang tak pernah kuperhatikan. Bisa jadi secantik ini.
"Marlene, kamu Marlene?" Dia langsung berlari dan menyandarkan tubuhnya ke dadaku sambil menangis.
"Ya ini aku Marlene"
"Setelah di SD aku sangat merindukanmu, aku tak pernah berpacaran Erik, aku terus mencarimu" cercahnya sambil menangis.
Aku mengusap air matanya dan menyibakkan rambut ikalnya, dia menegakkan kepalanya dan menatapku. Ya ampuun, cantik sekali dia. Aku sampai terpaku pada wajahnya, apalagi dadanya terus menempel di dadaku. Perlahan-lahan dia memajukan wajahnya mendekati wajahku, kami berciuman. Sekali lagi aku menepisnya.
"Tidak bisa Marlene, semua ini terlalu cepat" aku beralasan.
"Tapi aku sangat mencintaimu, kau cinta sejatiku, aku bersedia melakukan apa saja bagimu Erik"
Apa? Bisa-bisanya dia bicara begitu, dasar rayuan gombal. Lalu aku berpikiran iseng, untuk menimpali kata-katanya yang menurutku omong kosong itu.
"Cinta sejati? Melakukan apa saja? Baik, bagaimana bila melakukan sex?"
Aku puas mengatakannya, akhirnya aku bisa memberinya pelajaran karena mempermainkan perasaanku. Tapi, sedetik kemudian aku menyesali kata-kataku tersebut. Dia lalu merangkulkan kedua tangannya di leherku, mendekapku dengan erat. Aku merasakan dadanya padat dan sekal, seketika itu juga kontolku segera menegang, sangat tegang sehingga terasa sakit minta dikeluarkan.
Ia mendorongku ke kasur, mencumbuku dari leher terus ke bawah hingga perut. Dia mulai membuka ikat pinggang dan celanaku. Saat itu aku masih berpikir waras, aku berniat bangkit dan segera keluar dari rumah ini sampai aku merasakan lidahnya menyentuh kontolku. Aku merasakan kegelian di seluruh tubuhku.
"Enghh.." tanpa sadar aku mengerang.
Sesaat kemudian dia mencoba memasukkan barangku itu ke mulutnya, dia terlihat kesulitan karena besarnya kontolku. Kakek dan nenekku berdarah belanda, jadilah aku mempunyai alat yang besarnya seperti milik orang barat. Sesaat kemudian aku merasakan begitu hangat mulutnya, lidahnya bergerak-gerak di bawah batang kontolku, membuatku menggeliat menahan nikmat.
"Ooh, nikmat sekali Marlene" aku berkata-kata tanpa berpikir lagi. Aku mulai meremas-remas payudaranya yang besar itu. Gila.., lunak dan kenyal sekali. Aku meremasnya begitu kuat dan memutar-mutarnya. Dia terlihat keenakan.
"Emmhh.. Ammhh.." dia melenguh dengan kontolku menyumpal di mulutnya. Aku mengangkat tanganku menjambak rambutnya dengan dua tangan, kutekan kepalanya ke bawah sehingga kontolku mencapai tenggorokannya.
"Ummhh.. Ummhh.." dia kesulitan mengambil nafas. Aku menggerakkan kepalanya naik turun sekuat tenaga. Ooh.. Sensasi yang kurasakan benar benar nikmat. Setelah kurasa cukup, aku mengangkat kepalanya, kami kembali berciuman.
"Punyamu besar sekali Erik, aku tidak mengira" aku diam saja.
Aku membuka kaos pink-nya, terlihat payudaranya terbalut BH tipis yang segera kulepas, 2 buah dada bulat dan lebar langsung menggantung. Puting yang berwarna merah jambu dan keras itu langsung kutarik keatas. Lalu kuremas dadanya dan kuangkat sehingga tubuhnya naik ke atas kasur dan telentang.
"Ooh, Erik kau mau apa?
Aku diam saja, selalu diam, paling-paling aku hanya mengerang saja. Aku memutar roknya sehingga ritsletingnya berada di atas, kubuka roknya perlahan-lahan. Marlene menatap langit-langit dan menunggu apa yang akan kulakukan. Kulepas roknya dan kulempar ke lantai, terlihat pinggul dan paha berisi yang ramping dengan selangkangan tertutup CD berwarna biru muda yang sudah basah sejak tadi. Aku memerosotkan CD-nya ke bawah, kulihat bulu-bulu halus menutupi liang kemaluannya. Kusibak bulu-bulu itu, aku melihat bagian dalam memeknya yang berwarna merah jambu merekah. Aku mencoba untuk menjilatnya. Jilatan pertama kujilat dari bawah hingga ke bawah pusarnya.
"Aauuhh.." dia mengerang dan mengejang hingga kedua pahanya naik ke atas pundakku saat jilatan kedua kudaratkan. Aku menjilat semakin cepat, kucoba memfokuskan pada itilnya. Erangannya semakin tidak jelas..
"Aahh.. Ouuch.. Sshh.. Ahh.. Eriik teruuss.." Aku memasukkan jariku dan kugerakkan keluar masuk. Dia menggelinjang dan menjerit..
"Oohh.. Erik, kumohon masukkanlah.. Aku tidak tahan lagi masukkanlah sekarang Erik.. Auuww"
Aku bangkit naik ke atas tubuhnya, aku tatap matanya yang indah, dia balik menatapku. Marlene sungguh cantik. Aku merasakan tangannya menggenggam kontol 18 cm milikku, dia menempelkannya ke atas bibir vaginanya yang telah becek sejak tadi. Kami masih berpandangan.
"Erik, aku sungguh mencintaimu"
"Marlene, aku juga mencintaimu" Kami langsung berciuman dan langsung kulesakkan kontolku ke dalam vaginanya yang sempit dan kesat.
"Ummhh.. Emmhh.."
Dia menutup matanya sambil tetap menciumku. Aku mulai menggenjotnya semakin cepat. Dia terlihat tidak tahan, dia meremas dan menarik sprei kasur, membuka pahanya lebar-lebar, melepaskan ciumanku dan menjerit..
"Aauuhh.. Eriik.. Aahh enaak"
Aku terus menggenjot dengan cepat. Jeritannya tadi sangat keras hingga aku takut tetangga mendengar, tapi masa bodoh, ini betul-betul nikmat. Marlene terus mengerang-erang, dan membuang mukanya ke kiri kanan. Aku angkat kedua betisnya ke atas pundakku dan kusodok lebih keras dan lebih ke bawah.
"Teruuss.. Ohh jangan berhentii ahh.. Enaakk"
Kedua tanganku meremas dadanya dan kuangkat-angkat ke atas hingga tubuhnya terbanting-banting sambil aku terus menyodok liang senggamanya dengan cepat dan kuat. Lima menit kemudian aku berdiri di lantai sementara dia di atas ranjang merangkak. Wajahnya menghadap batang kontolku yang sudah semakin besar. Tanpa disuruh lagi dia segera mengulum batangku, dua tanganku menjambak rambutnya supaya kepalanya tetap diam. Lalu pantatku langsung menekan-nekan, kontolku menyodok-nyodok dengan kuat ke dalam mulutnya.
Aku melihatnya kesulitan, lalu kukeluarkan kontolku dari mulutnya yang basah. Dia tetap terlihat cantik. Kuminta dia berbalik dalam posisi itu. Jadilah aku berdiri di lantai sementara Marlene merangkak membelakangiku di atas ranjang mirip doggy style. Pantatnya benar-benar bulat dan seksi. Lalu aku mulai menjilati dubur Marlene.
"Ooh.. Kau berani melakukannya, auuhh", erangnya.
Aku membuka anus Marlene dengan kedua jariku hingga Marlene merintih kesakitan. Lalu aku meludah beberapa kali ke dalam lubang pembuangannya. Aku menyuruh Marlene menyepong kontolku lagi supaya sedikit basah. Beberapa detik kemudian, aku berusaha memasukkan kepala kontolku ke dalam anus Marlene yang masih sempit.
"Auuhh.. Erik, sakit sekali.. Hentikan"
"Tahan Marlene, coba kau sambil merangsang klitoris vaginamu" Dia melakukannya, sepertinya dia akan mulai terbiasa. Sementara kontolku sudah masuk setengahnya.
"Memang sakit.. Auu, tapi rasa nikmatnya jauh lebih besar.. Teruskan Erik.. Berikanlah kenikmatan pada lubang pantatku." Setelah seluruh batang penisku masuk, aku mulai memompa maju mundur.
"Aaww.. Pelan-pelan Erik, aku belum terbiasa"
Akhirnya aku membalikkan badannya, dia telentang di depanku sementara penisku masih menyumpal di lubang anusnya. Dengan tangan kanan, aku memegang pangkal paha kirinya, dan dengan tangan kiri aku terus merangsang klitorisnya. Aku mulai memompanya lebih cepat.
"Uuhh.. Uuhh.. Yaa teruuss.." Aku memompanya dengan sekuat tenaga, selama hampir 10 menit Marlene terus merintih-rintih, meremas-remas payudaranya sendiri dan mencengkeram sprei ranjang. Selama itu juga aku menggenjot lubang alternatifnya.
"Oouuch.. Aahh.. Yess.. Sodok terus, Rik.. Yaa" Akhirnya kulihat gejala akan orgasmme padanya. Ia meluruskan kakinya dan mengangkang memegang pinggangku menarik ke arah lubangnya. Tubuhnya melenting kejang diiringi teriakan lantang.
"Aauuhh.. Yeess.. Aahh.. Ahh.. Ohh..", desahnya merasakan kenikmatan.
Tapi aku belum orgasme hingga aku terus menghunjamkan kontolku menerobos otot-otot dalam anusnya hingga kemudian aku merasa geli dan nikmat luar biasa. Kukeluarkan penisku dari anusnya dan aku naik ke atas dadanya. Aku menjambak rambutnya mengangkat kepalanya hingga mulutnya menganga di depan penisku yang berdenyut. Spermaku menyembur keluar memenuhi rongga mulutnya, aku merasakan nikmat yang tiada duanya. Dia menjilat sperma di sekitar bibirnya dan menelan semuanya tanpa tersisa.
"Terima kasih Erik, kamu benar-benar hebat. Kamu memang cinta sejatiku."
Esok harinya kami selalu pergi kuliah bersama dan selalu memuaskan birahi kami di rumahnya.
E N D