Saat itu pertengahan 1989 adalah liburan semesteran kuliahku di fakultas ekonomi sebuah universitas bergengsi di Bandung. Dengan IPK diatas 3 yang berhasil kucapai, aku merasa ingin memanjakan tubuhku di liburan kali ini. Aku ingin mencari suasana baru dan melupakan aktifitas kampus yang melelahkan, setelah berkonsultasi dengan kedua orang tuaku yang tinggal di Jakarta, aku pun memutuskan untuk pergi ke Garut dan menghabiskan liburanku di rumah Mang Iyus dan Bi Laha. 'Mamang' dan 'Bibi' adalah terminologi Sunda yang berarti 'Oom' dan 'Tante'. Mang Iyus masih bisa dibilang sepupu ayahku karena ibu Mang Iyus dan kakekku adalah kakak beradik lain ibu. Mang Iyus adalah seorang tuan tanah dan pengusaha dodol yang cukup sukses di Garut. Sawahnya berhektar-hektar dan menghasilkan beras kualitas nomor satu sampai beratus-ratus ton di masa panen. Performance pabrik dodolnya pun tak kalah mengecewakan. Paling tidak supermarket-supermarket besar di kota-kota utama Jawa Barat pasti menjual produknya. Usia Mang Iyus sudah mencapai 45 tahun dan isterinya 10 tahun lebih muda darinya. Aku cuma tertawa ketika ayahku mengingatkanku untuk tidak tergoda pada isteri sepupunya itu. "Pamanmu itu seleranya tinggi.. si Laha itu dulu kembangnya Cilimus.. bapak yakin isteri muda si Iyus nggak kalah cantiknya.."
Cilimus adalah desa dekat Garut dimana keluarga pamanku itu tinggal. Desa yang konon memiliki tingkat kelahiran bayi cukup tinggi. Suatu statistik yang sangat bisa dimengerti setelah melihat kemolekan wanita-wanitanya. Aku memang jarang bertemu dengan paman yang satu ini sehingga tak pernah berjumpa dengan isterinya. Pasangan itu sampai saat ini belum dikaruniai anak. Kata ayahku, karena masalah itulah setahun yang lalu Mang Iyus kawin lagi dengan gadis berusia 19 tahun dengan harapan bisa memperoleh anak, yang ternyata belum juga sukses. Bi Laha tampaknya pasrah saja dimadu.
Aku memasukkan Honda Accord-ku ke halaman rumah Mang Iyus yang.. my god.. luas sekali. Kalau dikira-kira luas tanahnya saja.. aku yakin lebih dari 5000 meter. Dan rumahnya bermodelkan hasienda Spanyol yang kala itu sedang trendy di Indonesia sehingga terlihat pincang dengan suasana yang sejuk dan sederhana di desa Cilimus Garut itu. Seorang lelaki setengah baya dan bersarung dengan postur badan cukup tegap dan tinggi, hampir sama denganku yang 176 cm itu, bangkit dari kursi panjang di teras menyambutku. Setumpuk kertas di meja samping tampak menemaninya sedari tadi.
"Mang.. kumaha, damang?*" kataku seraya mencium tangannya (*kumaha = bagaimana, damang = baik).
"Oh.. pangesto.. pangesto..** gimana kabarnya bapak dengan ibu?" Mang Iyus terlihat begitu gembira melihat kedatanganku. (**pangesto = baik-baik saja).
"Baik.. baik, bapak dan ibu titip salam.. dan ini ada sedikit oleh-oleh dari Bandung.." Jawabku seraya menyerahkan sekantong besar keripik Karya Umbi.
"Aduuh.. mani repot.. nuhun atuh.. Buu!! Ini Cep Rafi datang.." Serunya sambil mengantarkan aku masuk ke rumahnya. 'Cep' adalah juga terminologi Sunda yang berarti si tampan. Seorang wanita berpakaian kebaya tampak tergopoh-gopoh keluar untuk menyambutku. Ia berhenti di hadapanku dan terpana memandang wajah dan tubuhku. "Ya ampuun.. Rafi.. kamu sudah jadi pemuda sekarang.." Bi Laha mengulurkan tangannya menerima cium tanganku.
"Apa kabar Bi Laha..? Bibi memang cantik seperti kata bapak.."
"aahh kamu bisa saja.. anak dan bapak sama saja.. tukang ngerayu.. ayo masuk.. bibi sudah siapkan kamarnya.. Tii.. Titi.. tolong bawa barang-barang Cep Rafi ke kamarnya.." Bi Laha menggandeng tanganku dan membimbingku ke dalam rumah. Ayahku memang benar. Fisik perempuan ini bukan cuma cantik, tapi juga montok menggairahkan. Coba bayangkan, tingginya sekitar 165 cm kulitnya putih mulus dan wajah serta postur tubuhnya mirip dengan Rina Gunawan (itu lho, penyiar AMKM di TPI yang juga berperan sebagai teman bisnisnya Sarah di Si Doel Anak Sekolahan 4). Cuma bedanya, wajah perempuan ini terlihat jauh lebih matang, hidungnya sedikit lebih mancung dan di atas bibirnya terdapat sedikit kumis tipis. Hmm kata orang, perempuan yang berkumis mempunyai nafsu yang..
Buah dadanya yang montok dan besar itu terlihat menggunduk di balik baju kebayanya yang berdada rendah. Kekagumanku memaksa otakku untuk mengukur besaran vitalnya.. paling sedikit 34, tak mungkin kurang dari itu. Kelak aku tahu perhitunganku tak meleset. Ukurannya 36.
"Waahh.. Mang Iyus sekarang lagi sering ke pabrik.. jadi jarang di rumah", kata perempuan itu sambil terus menggandeng tangan kananku menuju kamar. Lalu mulailah bibir indah itu berceloteh tentang betapa kangennya ia dengan keluargaku. Juga tentang rencana-rencananya mengunjungi ayah-ibuku yang selalu gagal karena kesibukan suaminya. Aku mendengar dengan antusias. Seantusias mataku yang mencuri-curi pandang ke belahan buah dadanya. Tanpa sengaja sikuku menyenggol sisi kiri bukit kembar itu, keempukannya membuat ada desiran aneh mengalir dari dada menuju selangkanganku. Tak tahan untuk tidak mencuri kesempatan, kuangkat sikuku lebih tinggi sehingga mulai bergesekan dengan ujung kiri buah dadanya, daging bulat yang kenyal dan empuk itu sedikit-sedikit menampar sikuku membuat penisku mulai berdenyut-denyut dan perlahan-lahan bangun dari tidurnya. Buah dada besar itu berayun naik turun sesuai langkahnya yang ditingkahi derai bicaranya. Pelan-pelan aku menggerakkan sikuku lagi, mencari peruntungan siapa tahu bisa merasakan putingnya. Bi Laha merasakan gerakan sikuku yang kurang wajar itu lalu berhenti berbicara dan tersenyum. Tangan kanannya mendorong sikuku menjauh dari buah dadanya yang bundar seperti buah melon itu seraya mencubitnya. "Mmh.. geli dong Fi.. sengaja ya.." Bisiknya seraya mendelik galak. My god.. bisikannya.. Aku agak melambatkan langkahku karena tonkolan daging di selangkanganku semakin keras dan mengganggu jalanku. Otakku yang biasa berkutat dengan teori-teori ekonomi mendadak penuh dengan rencana-rencana untuk menaklukkan isteri pamanku ini. Semua sel-sel di dalam tempurung kepalaku terfokus pada satu titik: 'aku harus menaklukkan isteri pamanku itu, sampai titik dimana ia akan mengemis untuk merasakan penisku menari-nari dalam vaginanya!'
("Pemuda yang tampan", Laha tersenyum meninggalkan kamar keponakan suaminya itu. "Tampan dan nakal". Lalu tanpa sadar perempuan itu meraba ujung buah dada kirinya. Masih terasa sisa-sisa kegelian akibat gesekan siku kekar pemuda itu. Kegelian itu kini tiba-tiba membuat darahnya berdesir. Kegelian yang sudah lama tak dirasakannya, yang akhir-akhir ini cuma mampir lewat mimpi. Perempuan itu melirik Iyus, lelaki kaya yang mengawininya hampir 15 tahun lampau. Tampak suaminya itu kembali tenggelam dalam kesibukan meneliti catatan pengeluaran dan pemasukan perusahaannya. Laha menghela nafas, tiba-tiba saja ia begitu menyesal tak membiarkan siku pemuda itu sedikit lebih lama menggesek-gesek buah dadanya.)
Pembaca, kata-kata dalam kurung di atas adalah perasaan-perasaan Bi Laha (bukan kata-kata) yang diceritakannya kelak setelah kami berdua menjadi 'akrab'. Dan anda akan menemukan kurung lainnya yang menunjukkan perasaan tokoh lain. Sengaja kubuat komposisi seperti ini untuk membuat cerita ini lebih mengalir.
3 hari pertama, aku melakukan sosialisasi dengan keluarga Mang Iyus. Terutama, tentunya, dengan Bi Laha. Perempuan yang bernama lengkap Nugraha itu ternyata seorang yang cerdas dan senang membaca. Walau hanya lulusan SMA, ia banyak menguasai masalah-masalah aktual masa kini. Dari masalah ekonomi, politik, sampai ke soal fashion. Benar-benar teman bicara yang mengasyikkan. Akhir-akhir ini Mang Iyus tampak lebih sibuk dengan pabrik dodolnya dan, sudah tentu, istri barunya. Sehingga praktis ia baru ada di rumah sesudah jam 8 malam setiap harinya. Itupun karena aku ada disini. Biasanya, hari Kamis sampai Minggu lelaki itu menginap di rumah Nuke, istri mudanya. Bisa kubayangkan betapa kesepiannya Bi Laha. Apalagi, belakangan kutahu bahwa sudah 6 bulan lebih Mang Iyus mengalami masalah dengan 'senjatanya' karena pernah terkena tendangan bola yang keras sekali sehingga harus dirawat seminggu dua kali oleh seorang dukun urut.
Malam itu, seperti biasa kami ngobrol berdua menunggu Mang Iyus pulang. Badan kami terasa sangat segar selepas mandi setelah sesorean bersimbah keringat membersihkan rumah yang baru saja ditinggal pulang Titi, pembantu setia keluarga itu, selama seminggu. Saat itu Bi Laha mengenakan kebaya hijau muda dikombinasikan dengan kain jarik hijau tua. Mang Iyus memang menyuruh isteri-isterinya mengenakan kebaya setiap hari. "Lebih indah.." katanya suatu hari. "Lebih merangsang.." Jawabku dalam hati. Rambut perempuan yang belum lagi kering itu diikat buntut kuda, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah dan putih mulus. Bi Laha tidak mengenakan penutup dada sehingga buah dadanya menyembul keluar dan dari belahannya kentara sekali kekenyalannya. Ingin rasanya memasukkan tanganku diantara belahan dada itu dan meremas sekuat-kuatnya. Kami duduk berhadapan di meja makan kayu berukir berukuran besar.
"Bi Laha.. umurnya sudah lebih dari 30 kok badannya masih.." Sengaja aku mengalihkan topik pembicaraan ke topik yang agak 'syuur'. Siapa tahu bisa jadi entry point untuk menggumuli tubuh isteri pamanku itu. "Masih apa Fi.." Deliknya sambil tersenyum."Masih kenceng.. masih.. seksi.." jawabku seraya memandang wajah Bi Laha yang mendadak bersemu merah.
("O Tuhan, sudah lama aku mendambakan puji-pujian seperti ini dari seorang lelaki", demikian jerit hati perempuan itu. Ketika masih perawan, tak ada lelaki yang luput melontarkan pujian padanya. Tak ada yang tak mengagumi kembang desa Cilimus yang namanya sempat jadi buah bibir para pria kota Garut kala menjuarai festival 'Mojang Garut'. Setiap pujian, selalu mengalirkan gairah pada seluruh pembuluh darahnya. Dan gairah itulah yang senantiasa membuat esok menjadi lebih indah dari kemarin. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun padam, tiba-tiba seorang pemuda mengucapkan dua patah kata yang mengobarkan kembali gairah itu. Hanya saja di luar kebiasaan, kali ini gairah itu memacu jantung perempuan di usia 30-an itu berlari lebih cepat.)
Buah dada Bi Laha naik turun mengiringi degup jantungnya yang semakin cepat "Untung benar Mang Iyus bisa menikmati tubuh bibi yang montok ini. Kalau saya jadi Mang Iyus, bibi akan saya tiduri setiap hari.." Kata-kata itu begitu saja mengalir tak terbendung. Aku sendiri terkejut mendengar pernyataan yang terkesan 'vulgar' itu. Konyolnya, gara-gara membayangkan kata-kata itu tanpa sadar penisku bangkit dan mengeras. Nampak Bi Laha juga sedikit terkejut mendengar kata-kataku. Gila, mungkin begitu pikirnya, beraninya seorang keponakan berkata-kata jorok kepada bibinya, untung dia tak marah malahan terenyum menggoda, "Tiap hari Fi..? Kuat emangnya..?" Uff, jawabannya membuat penisku terasa sakit karena tertekuk di dalam celana dalamku."Hmm.. jadi bibi mau coba..?" Aku tersenyum menantang seraya berdiri dan berpura-pura akan menurunkan ritsluiting celana katunku sambil mengambil kesempatan untuk membetulkan posisi penisku, hahh.. lega, "iihh.. Rafi jorok ah.. nanti ketauan Mang Iyus.." Pekiknya sambil menutup mata dengan kedua tangannya. Namun mata perempuan itu tampak diam-diam mengintip melalui jemarinya yang lentik. Wajahnya tercengang melihat bagian depan celanaku yang lebih menggelembung dari biasanya. Karena bahan katun yang lemas, penisku tercetak dengan jelas sedang berdiri tegak. Aku melirik ekspresi istri pamanku itu. Kentara sekali wajah bibiku itu bertanya-tanya.
("Gila anak ini!" Maki Laha dalam hati. "Dia mau membuka ritsluitingnya di hadapanku! Aduh, lalu aku harus gimana? Brengsek, serius ngga sih dia? Tapi, tapi, kalau diliat-liat.. ya ampun, anunya membesar.. jelas benar tercetak di celananya. Kalau begitu dia tidak main-main!! Ya Tuhan, apa dia mau memperkosaku? Ka.. kalau iya, apakah aku mampu menampung anunya yang besar itu? Hmm, tapi kata orang kalau perempuan dimasuki anu yang besar rasanya seperti.. " Laha tersenyum sendiri sebelum dengan perasaan malu menghentikan pikirannya yang berhamburan tak terkendali itu. Namun terlambat, desiran kegelian dan kegatalan itu telanjur mengalir ke bawah perutnya)
"Nggak bakal ketauan Bi.. Mang Iyus kan lagi di pabrik.."
"Iiihh.. ngga mau ah.. bibi takuut.." Kata Bi Laha sambil bersiap bangkit dari kursi.
"Lo.. lo.. mau kemana Bi..? Duduk saja.. saya cuma becanda kok.."
"Uuuhh.. dasar.. kirain beneran.."
"Kalau beneran, gimana? Bibi mau..?" Sejenak Bi Laha memandang bongkahan besar di selangkanganku, kemudian mendelik galak kearahku, lalu membuang muka.
"Tauk ah.."
"Loo.. kok malah ngambek.. ayo dong Bi.. saya kan cuma becanda.." Perempuan itu masih juga tak mau melihat mukaku.
"Iya deh.. Bi.. sorry.. jangan ngambek terus doongg.. entar punya saya tambah gede lo.."
"Iiih.. Rafi.. kamu tuh ngomongnya ngaco deh.. Lagian apa hubungannya ngambek sama.. sama.. punya kamu.."
"Ada dong Bi.. kalau bibi ngambek, mukanya tambah merangsang.. hehe.."
Isteri pamanku itu pun tersenyum geli, lalu melemparkan serbet ke mukaku.. "Dasar ngeres."
Bersambung ke bagian 02