Kebetulan sekolah sedang libur di bulan Oktober ini, aku (namaku Tris) bersama istri dan kedua anakku (yang besar baru kelas I SD) berlibur ke Malang sambil mengunjungi orang tua istriku. Rumah mertuaku bukannya di kota Malangnya tetapi agak jauh di Desa di luar kota Malang yang masih terasa sejuk. Seperti kebiasaan di desa, tetangga-tetangga mertuaku masih termasuk keluarganya juga dan di samping kiri rumah mertuaku adalah keluarga adik perempuannya yang sudah mempunyai anak 3 orang dan semuanya perempuan. Yang terbesar nama panggilannya Asih dan masih duduk di kelas 3 SMU di desanya, yang kedua bernama Ami masih kelas 1 di SMU-nya Asih dan yang terkecil Ari masih duduk di kelas 2 SMP, sedang bapaknya kerja di suatu PT di Surabaya yang hanya pulang ke desanya setiap bulan habis gajian.
Yang kudengar dari mertuaku, ke 3 keponakannya itu walau tinggal di desa tapi badung-badung dan susah di atur sampai-sampai ibunya kewalahan. Kupikir mungkin akibat bapaknya tidak pernah ada di rumah sehingga tidak ada yang disegani.
Untuk menyingkat cerita, baiklah kumulai saja kisah nyataku ini. Ketika tahu aku dan keluargaku datang di desa, ibunya Asih datang kepadaku dan meminta tolong untuk memberi les kepada ketiga anaknya terutama kepada Asih, karena ujian akhir sudah dekat. Oh iya, mertuaku dan keluarganya tahu kalau aku dulu kerja sebagai seorang Guru SLTA sebelum diterima kerja di salah satu BUMN di Jakarta. "Naak.. Triis, mumpung lagi libur di sini, tolong yaa si Asih dan adik-adiknya diberi les", kata ibunya Asih sewaktu semua keluarga sedang ngobrol-ngobrol. Asih dan adik-adiknya langsung protes ke ibunya,
"Buu, ibu ini gimana siih. Kita sedang libur kok malah disuruh belajar?"
"Asiih", teriak ibunya agak keras,
"Apa angka-angka di raportmu sudah bagus? Apalagi ujian sudah dekat, kalau hasil ujianmu jelek, bapakmu mana sanggup menyekolahkan kamu di Universitas swasta", lanjut ibunya dengan sedikit ngotot.
Supaya tidak terjadi keributan, lalu aku berusaha menengahinya dengan mengatakan "Asiih", ibumu benar ikut ujian UMPTN itu tidak gampang. Mas Triis mau kok membantu Asih dan adik-adik dan waktunya terserah saja, bisa pagi, siang atau malam."
Kebetulan hari Selasa sore, istriku dan ibunya pergi ke Kediri untuk mengunjungi saudaranya yang sedang sakit dan mungkin akan menginap semalam. Kira-kira jam 9 malam ketika aku sudah siap akan tidur, Asih yang memakai baju tidur tanpa lengan yang longgar dan belahan dadanya yang sangat rendah datang memintaku untuk mengajari matematika. "Lho kok malam-malam begini sich apa tidak ngantuk nanti?", kataku agak malas karena aku sendiri sudah mulai ngantuk. "Naah.. kata Mas Tris kemarin terserah Asih soal waktunya kebetulan lagi belum ngantuk nih Mas", jawabnya. Lalu Asih mengajakku ke rumahnya dan dia sudah menyiapkan buku-bukunya di meja makan. "Lho.. kok sepi", tanyaku pada Asih melihat rumahnya terasa sepi, "Kemana Ibu dan adik-adik mu Siih?" Sambil duduk di kursi satu-satunya di meja makan, Asih mengatakan kalau mereka sudah tidur sejak tadi.
Lalu Asih mulai membuka bukunya dan menanyakan persoalan-persoalan matematika yang tidak dimengertinya dan aku menerangkannya sambil berdiri disamping kirinya sambil sesekali kulirik belahan dadanya yang sangat jelas terlihat dari atas. Payudaranya tidak terlalu besar tapi terlihat menonjol tegang di balik baju tidurnya yang berleher rendah itu. Dari pengamatanku beberapa saat sewaktu Asih mengerjakan soal-soal matematika yang kuberikan, kelihatannya dia tidak bodoh-bodoh amat, mungkin karena bandel dan tidak pernah belajar saja sehingga hasil rapornya jelek. Suatu saat ketika aku menuliskan jawaban matematika yang ditanyakannya, secara tidak sengaja siku tangan kananku menyenggol payudaranya dan terasa empuk kenyal walaupun masih terbungkus BH-ya. "Asiih, ma'af yaa tidak sengaja", kataku basa-basi. eeh tidak menyangka kalau Asih malah berguman, "Aah sengaja juga tidak pa-pa kok.. Maas", katanya dengan tanpa menoleh. Nah kesempatan baik nih, sambil menyelam minum air, sambil mengajari siapa tahu dapat kesempatan menggoda Asih yang kudengar bandel dan suka pacaran di sekolahnya, pikirku.
Kembali Asih mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan aku melihat apa yang dikerjakannya dari belakang badan Asih dan sesekali kulongok belahan dadanya yang membuat dadaku berdesir dan kepingin memegangnya serta membuat celana pendek piyama yang kukenakan kelihatan menonjok akibat penisku sudah berdiri. Aku jadi melamun dan mencari jalan bagaimana cara memulainya supaya bisa memegang payudara Asih. "Maas, panggil Asih yang membuatku agak tersentak dari lamunanku, kalau yang ini, gimana ngerjakannya?" kata Asih yang agak menunduk mendekati kertas kerjaannya di meja makan. Lalu aku membungkukkan badanku dari belakang sehingga badanku menempel di sandaran kursi dan kepalaku ada di kanan bahu Asih sambil tangan kananku menjulur ke depan di atas kertas kerjaan Asih dan menerangkan bagaimana cara mengerjakan persoalan yang ditanyakan, dan Asih tidak berusaha menghindar dari posisiku dalam menerangkan dan juga tidak berkomentar ketika beberapa kali payudaranya tersenggol tanganku sewaktu bergerak menerangkan di kertas kerjaannya. "Sudah mengerti aas", tanyaku setelah selesai menerangkan dan "Suu..daah maas", jawab Asih pelan dan kuangkat kepalaku menjauhi kepala Asih sambil kukecup mesra leher Asih yang jenjang dan kulihat Asih agak menggelinjang mungkin kegelian dengan kecupanku itu sambil berkata lirih "Aahh maas gee..niit aahh nanti Asih kasih tahu Mbak Sri (nama panggilan Istriku) lho baru tahu", menakut-nakutiku. "Yaa jangan dong Aas, bisa perang dunia nanti", kataku dari belakang dan kulanjutkan kata-kata rayuan gombalku "Haabis, Asih maniis dan body Asih menggairahkan siih", sambil kembali kukecup lehernya.
Lagi-lagi Asih menggelinjang dan lalu melepaskan pinsil dari tangannya sambil berkata pelan seolah mendesah "aahh maas, jaa..ngaan nanti ada yang tahuu." Karena tidak ada tolakan yang berarti dan Asih tidak berusaha menghindar atau pergi, aku semakin tambah berani dan kupegang kepalanya serta agak kuputar sedikit ke kanan lalu segera bibirnya kucium dalam-dalam dan tidak menyangka kalau Asih malah membalas ciumanku dan tangannya dirangkulkan ke badanku. Karena dalam posisi begini kurang nikmat, sambil masih tetap berciuman, lalu kuangkat Asih berdiri dari duduknya dan kupeluk rapat-rapat badannya ke badanku. Setelah puas kami berciuman, lalu kualihkan ciuman serta jilatanku ke arah leher Asih dan kudengar Asih mulai berdesah "Aahh.. aah maass aahh.. maas ja..ngaan di sini.. nanti ketahuan", mendengar desahan yang cukup merangsang ini, aku semakin tidak dapat menahan nafsu berahiku lalu tangan kananku kugunakan untuk meremas-remas payudara Asih dari luar BH-nya dan Asih kembali mendesah "aah maas ja..ngaan disinii."
"Asiih, kita ke kamar Asih sajaa yaa", dan tanpa menunggu jawaban Asih, kuangkat dan kubopong tubuh Asih sambil kutanya, "Kamar Asiih yang mana.. As?"
"Di dekat ruang tamu Mas", sambil kedua tangannya dirangkulkan ke leherku. Rupanya kamar Asih terpisah jauh dari kamar-kamar lainnya dan sesampai di kamarnya lalu kurebahkan Asih di tempat tidurnya dan langsung kupeluk dan kembali kulumat bibirnya dan Asih pun meladeniku serta sepertinya sudah berpengalaman.
Setelah puas kulumat bibirnya, kualihkan ciumanku ke arah leher dan telinganya serta tangan kananku kugunakan kembali untuk meremas-remas payudaranya sedangkan Asih hanya mengeluarkan desahan-desahan. Sambil tetap mencium leher, telinga dan seluruh wajahnya, aku mulai mencoba melepaskan kancing-kancing baju tidur Asih dan setelah semua kancing terbuka, Asih mendesah, "Maas jangaan maas Jaa..ngan", katanya tanpa adanya penolakan atau menghentikan tanganku yang melepas kancing-kancing baju tidurnya. Ketika kubuka kaitan BH di punggungnya, Asih juga seperti tidak menolak tetapi masih terdengar desahan suaranya, "Maas ja..ngaan maas." Setelah kaitan BH-nya terlepas segera kubuka BH-nya dan terlihat payudara Asih yang tidak terlalu besar dengan puting susunya kecil kecoklatan, segera saja kualihkan cuimanku dari leher langsung ke payudaranya dan tangan kananku kugunakan untuk mengelus-elus vagina Asih dari luar CD-nya.
Seraya menggerak-gerakkan bagian dadanya dan kedua tangan Asih dirangkulkan kuat-kuat ke badanku, desahan Asih semakin sering terdengar", Maas maas aduuh maas teruus maas." Desahan-desahan Asih semakin membuat penisku semakin tegang saja, dan setelah beberapa saat kuciumi serta kujilati payudaranya yang ranum itu, lalu ketelusuri perut dan pusar Asih dengan ciuman serta jilatanku dan kugunakan kedua tanganku untuk melepas CD-nya sehingga vagina Asih yang menggelembung di antara kedua pahanya dan hanya ditumbuhi bulu-bulu hitam yang tipis terlihat jelas. Ketika jilatanku sudah mendekati bibir vaginanya, secara perlahan-lahan Asih membukakan kedua kakinya dan tercium aroma khas vagina. Aku sudah tidak sabar, lalu kujilat bibir vaginanya yang agak terbuka dan kurasakan tubuh Asih menggelinjang kuat sambil mendesah agak kuat. "Maas aduuh maas sudaah maas", sambil menekan kepalaku agak keras dengan kedua tangannya sehingga mulut dan hidungku terbenam dalam vaginanya dan basah oleh cairan yang keluar dari vaginanya. Lalu kuhisap-hisap bagian clitorisnya yang membuat Asih semakin sering menggelijang dan kuat desahannya, "Maas maas teruus.. Maas", dan ketika bibir vagina Asih kubuka dengan jari-jari tanganku, kulihat lubang vaginanya sudah mempunyai lubang yang agak besar dan sambil tetap menjilati vaginanya aku segera berkesimpulan kalau Asih sudah tidak gadis lagi dan mungkin sudah beberapa kali vaginanya dimasuki penis orang lain. Jilatan-jilatan serta sedotan-sedotanku sudah keseluruh vagina Asih dan pinggulnya semakin kuat pergerakannya serta kudengar desahan kuat Asih lagi "Maas, maas, Asiihh nggaak kuaat laggii maas, aahh", sambil tangannya menekan kuat-kuat kepalaku cukup lama dan pinggulnya kelojotan dengan cepat. Tapi tidak lama kemudian Asih terdiam dan yang kudengar hanya nafasnya yang terengah-engah dengan kuat. Setelah kudengar nafasnya mulai agak teratur, kurasakan kedua tangannya berusaha menarik pelan kepalaku ke atas, lalu aku merangkak di atas badan Asih dan kupegang kepalanya sambil kuciumi seluruh wajahnya dengan mulut dan hidungku yang masih basah oleh cairan vagina Asih. Sambil mencium lehernya, lalu kutanyakan apa yang ada dalam pikiranku tadi, "Asih sebelumnya sudah.. pernah.. seperti ini.. yaa?" Dan seperti kuduga Asih menjawab pelan. "Sudah Maas dengan pacar Asih, tapi tidak seperti sekarang ini, pacar Asih maunya cepat-cepat dan setelah diam sesaat Asih melanjutkan kata-katanya, "Maas, tapi jangan kasih tahu Ibu yaa?" Aku hanya mencium bibirnya dan kujawab singkat, "Nggaak akan doong aas", dan kembali kuciumi wajahnya.
"aas, boleeh sekarang Mas masukin?" kataku setelah diam sesaat, Asih tidak segera menjawab tetapi kurasakan kedua kakinya digeser membuka. Karena tidak ada jawaban, lalu kupegang batang penisku dan kuarahkan ke lubang vaginanyah serta pelan-pelan kutekan kelubangnya. Walaupun vaginanya masih basah dengan cairan, kurasakan masuknya penisku ke dalam vaginanya agak susah sehingga kuperhatikan wajah Asih seperti menahan rasa sakit dan terpaksa tekanan penisku kutahan. Melihat wajahnya sudah biasa dan kurasakan tangannya yang berada di pungungku menekan pelan-pelan, lalu kembali penisku kutekan pelan-pelan dan tiba-tiba penisku seperti terperosok ke dalam lubang, bleess.. serta kudengar Asih berteriak kecil, "aachh maas tahaan", sambil menahan pinggulku.
Setelah diam beberapa saat, kudengar kembali Asih berkata pelan, "Maas .. jangaan dalam dalaam yaa Maas, Asiih takut sakiit." Agar supaya Asih tidak kesakitan, lalu kuikuti pesan Asih dan aku mulai menarik penisku pelan-pelan dari dalam vaginanya dan menekan kembali pelan-pelan serta kubatasi tekanan masuknya penisku itu seperti pertama kali masuk kira-kira sepertiga panjang penisku.
Setelah beberapa kali keluar masuk, kurasakan penisku mulai lancar keluar masuk vagina Asih dan kuperhatikan wajah Asih sudah biasa dan tidak sedang menahan sakit, malahan sewaktu aku menahan pinggulku agar penisku jangan masuk terlalu dalam, ternyata sekarang Asih menaikkan pinggulnya dan tetap menekankan kedua tangannya di pinggulku. Karena sudah ada tanda ini, lalu kukocokkan penisku keluar masuk vagina Asih pelan-pelan lebih dalam, dan terus lebih dalam lagi dan terus sampai akhirnya penisku bisa masuk semuanya ke dalam vagina Asih dan setiap kali penisku masuk semua ke dalam vaginanya dan terasa sampai mentok di vagina Asih, kudengar Asih berdesah, "aahh maas", berulang-ulang.
Karena sudah kuanggap lancar dan tidak ada keluhan dari Asih, sambil kuciumi wajah dan bibirnya, lalu kupercepat kocokan keluar masuk penisku di vaginanya dan akibatnya sangat terasa gesekan-gesekan di vaginanya yang terasa sempit itu, membuatku tidak sadar berdesah, "Sshh sshh.. enaak Aass.. aaccrhh", sedangkan Asih yang mungkin sudah begitu terangsang, vaginanya mencuat akibat keluar masuknya penisku dan kadang-kadang sampai mentok di ujung vaginanya, gerakan pinggulnya semakin cepat dan tidak teratur serta kuku jari tangannya mencengkeram kuat di pinggangku sambil sering kudengar desahnya, "Maas teruus maas enaak aahh sshh enaak maas." Tidak terlalu lama kemudian gerakan pinggul Asih semakin liar, pelukan dan cengkeraman kukunya semakin sering dan nafasnya juga sudah semakin cepat dan tiba-tiba Asih berseru agak keras dan mudah-mudahan tidak sampai terdengar di kamar ibu atau adik-adiknya, "Maas.. maas Asiih suudah nggaak kuaat Maas, aduuhh Maas, Asiih sekaraang aduuh, keluaar aaccrhh", serta badannya seperti kejang-kejang, dan kubantu orgasmenya dengan memeluknya kuat-kuat serta kupercepat kocokan keluar masuk penisku di dalam vaginanya sambil kubisiki, "Asiihh teruuskan saa..yang teruuskaan sampaii Asih panas", tapi bersamaan berhentinya seruan Asih saat orgasme, kulihat sekelebat wajah perempuan entah Ami atau Ari menutup korden kamar Asih lalu berjingkat pergi dan Asih kelihatannya tidak tahu dan aku pun tidak akan kasih tahu. Tidak lama kemudian Asih terdiam dengan nafasnya yang tersengal-sengal dan menciumi seluruh wajahku serta membisikiku "Maas, maas hebaat, Asiih baru bisaa puaas sekarang dan Asiihh capeek bangeet maas."
Karena mendengar Asih mengatakan capai, aku jadi tidak tega lalu kubilang "Assiih, kalau asih capek istirahat saja duluu Mas cabut dulu yaa.. punya Mas?"
"aahh biaarkan sajaa.. duluu maas, maskan belum keluaar", jawab Asih tenang sambil mencium wajahku. Kulihat nafas Asih sudah normal kembali dan kedua tangannya diusap-usapkan di punggungku sambil masih tetap menciumi wajahku dan kurasa ini sebagai tanda bahwa Asih sudah siap lagi, lalu pelan-pelan aku mulai menggerakkan pinggulku lagi sehingga penisku mulai keluar masuk vaginanya yang semakin basah sambil kusedot-sedot salah satu puting susunya dan terdengar jelas bunyi, crroott crroot, pada saat penisku masuk ke dalam dan Asih masih diam saja mungkin sedang menikmati enaknya dinding vaginanya digesek-gesek penisku. Makin lama kocokan penisku semakin kupercepat dan sekarang terasa Asih sudah menggerakkan pinggulnya sehingga penisku terasa semakin nikmat sehingga tanpa sadar aku mendesis, "Aasiih enaak Aas aduuh enaak Aas", dan hampir bersamaan Asih pun mulai mendesah, "Maas.. Asiih jugaa Maas teruus maas aduuh.. enaak maas." Gerakan penisku keluar masuk semakin kupercepat dan terasa spermaku sudah di ambang pintu mau keluar dan kucoba menahannya sambil kutanyakan,
"Asiih maas sudaah nggaak kuaat keluarkannya dimanaa Aas?"
"Maas, biariin di dalam maas, Asiih pingin disemprot maas ayoo sama samaa Maas ayoo sekaraang Maas!" dan aku berseru agak keras
"aaccrhh aahh Maas keluaar aaccrhh", sambil kupererat pelukan dan penisku kutekan dalam-dalam ke vaginanya dan hampir bersamaan Asih pun berteriak cukup keras,
"Maas aacrhh maas Asiih keluaar." sambil menggerakkan pinggulnya secara liar. Setelah itu kami sama-sama terdiam tapi dengan nafas yang tersengal-sengal dan segera kucabut penisku dari dalam vagina Asih dan langsung kupakai celanaku tanpa me-lap lagi dan kubilang, "Asiih Mas pulang kesebelah dulu yaa, takut dicariin."
Sesampainya di rumah mertuaku yang cuma sebelah rumahnya Asih, aku tidak melihat tanda-tanda ada yang masih ada yang bangun. Lalu kukunci semua pintu-pintu dan aku langsung tertidur di dekat ke 2 anakku. Siang harinya waktu aku sedang ngobrol dengan beberapa keluarga istriku di rumah mertuaku, tiba-tiba telepon berbunyi dan salah seorang memanggilku. "Maas ada telepon dari Mbak Sri", (nama Istriku)."Maas", kata istriku dalam telepon, "Kayaknya aku belum bisa pulang hari ini mungkin baru besok, habis ibu banyak yang perlu diurus. Jaga anak-anak ya Maas", kata istriku mengakhiri teleponnya.
Bersambung ke bagian 02