Dalam serial sebelumnya, kita sudah tau bagaimana watak Mbak Narsih. Mudah marah, perfeksionis dalam urusan kebersihan rumah tangga, dan sekarang baru aku tau, kalo beliau itu juga eksibisionist, suka menggoda dengan memamerkan tubuhnya yang seksi. Meskipun sifatnya itu hanya di dalam rumah saja. Sudah sebelas hari Mas Pras belum pulang. Selama itu pula aku bersikap sangat hati-hati, tidak ingin kena marah lagi. Aku ingin memelihara suasana damai dengan Mbak Narsih. Setelah kejadian “santap siang” itu sikap beliau baik. Tapi aku tetap hormat dan takut. Beliau juga tak pernah bicara soal itu. Seolah-olah tak pernah terjadi. Aku tidak berani lagi mengintip-ngintip. Aku tau diri dan berusaha menghormati Mas Pras. Aku juga sudah kepengin ketemu Mas Pras. Beliau janji mau mencarikan aku sekolah, sudah 3 bulan aku tidak bersekolah. “Masmu kok belum pulang ya Kun?” matanya memandang ke pintu. Keliatan kalo beliau sudah kangen sekali kepada suaminya. Lampu Petromax semakin redup, butuh dipompa lagi. Aku menurunkan lampu itu dan memompanya. “Sudah sebelas hari, Mbak.” Jawabku sambil memompa lampu menjadi semakin terang lagi.
“Kamu hitung, to Kun?” Mbak Narsih heran. Ternyata aku peduli dg Mas Pras. Sekarang dia melihat aku yang masih memompa lampu. “Aku kasih tanda tuh di kalender.” Alasan sebenarnya aku memberi tanda karena ingin mendapat kepastian, kapan aku bisa masuk sekolah lagi. Aku menunjuk kalender di dinding kamar tamu. Mbak Narsih berdiri mendekat dan memperhatikan dengan cermat kalender itu. “Kok kamu tulis DM. DM, DM, apa sih artinya” Mbak Narsih menatapku heran. Aku terkejut, addduuh! Itu artinya kan “damai”. Tapi aku harus ngomong apa??? Kemungkinan ini tak kuduga sebelumnya. Sambil mencantelkan lampu aku berpikir keras mau jawab apa. Sialnya karena silau dan gugup, tak juga mau nyantel-nyanthel kolong lampu ini ke tempatya. “Ayooo, apa Kun?” Mbak Narsih tak sabar menunggu jawabanku. Daripada aku bohong kena marah lagi, yaaa lebih baik…. “Artinya damai, Mbak.” Aku menjawab lirih sambil melepaskan pelan-pelan lampu yang sudah nyantel itu. Karena aku melihat ke atas Mbak Narsih tidak tahu pucatnya wajahku. “Daa….mai?” Mbak Narsih mengerenyitkan dahinya. “ Damai gimana maksudmu, Kun?”
“Mmm….” Sambil memijit-mijit tengkukku yang tidak pegal aku memandang Mbak Narsih malu-malu. “Ayo, awas kalau bohong!” beliau berdiri berkacak pinggang. Wah, gawat! “Maaakk….sud saaaayaa, ya damai dengan Mbak Narsih.” Akhirnya aku memilih jalan lurus. “Lho, aku kan selalu damai sama kamu?” sekarang beliau duduk di dekatku dan memandang lurus mataku. “Apa aku kamu anggap musuhmu?” “Bukan begitu, Mbak.” Aku beringsut mundur, secara reflek aku takut. “Justru aku senang selama sebelas hari ini Mbak Narsih tidak marah sama aku. Aku merasa bahagia, kok Mbak.” “Kenapa mundur-mundur, takut ya? Kalau tidak salah kenapa takut?” nada uaranya tidak galak lagi. “Siapa takut, Mbak. Ini, aku berani maju.” Aku mendekat lagi bahkan lebih mepet. Mbak Narsih tersenyum geli melihat sikapku. “Uuuu….cah nakal. “ dipijitnya hidungku dengan gemes.”Aduuuu Mbak, sakit” malam itu suasana terasa mesra dan menyenangkan. Sampai jam sebelas malam kami berdua ngobrol akrab. Sepertinya Mbak Narsih menunggu Mas Pras, tapi beliau tidak bilang apa-apa.
Mbak Narsih sudah menguap dan masuk ke kamar tidurnya. Petromax saya matikan kuganti lampu tempel. Aku pun masuk kamar, segera tidur nyenyak dengan mimpi indah. Aku tidak tahu bahwa jam dua belas malam Mas Pras datang. Dalam mimpiku aku bertemu cewek cantik. Cewek yg belum kukenal itu tanpa malu-malu mendekati aku dan menciumi aku. Bajuku dibuka lalu celana ku diturunkan. Aku sekarang tinggal memakai celana dalam. Dalam alunan musik dangdut cewek itu meluk-liuk kan tubuhnya mengikuti irama sambil melepas pakaiannya satu persatu. Kemaluanku menjadi tegang. Apalagi saat dia mendekat dan mengelus-elus penisku dengan lembut, rasanya nikmat sekali Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang berat menimpa badanku dan kemaluanku terasa basah dan hangat. Kurasakan nafas hangat dan berat menyapu wajahku. Aku terbangun! Mataku menatap kabur pada bayangan di atas wajahku di kamar ku yang gelap itu. Beberapa saat pandanganku menjadi jelas bahwa itu wajah Mbak Narsih. Aku bermaksud membuka mulut dan bertanya tetapi mulutku dibekap. “Ssssst……..!” beliau menyuruh aku diam.
Badanku yang kecil itu merasakan beban yang lumayan berat dari tubuh wanita dewasa itu. Beliau jongkok dan bergerak naik turun. Penisku merasakan kehangatan di dalam lubang Mbak Narsih. Ternyata apa yang terasa dalam mimpiku itu adalah kenyataan. Kini dengan sadar kurasakan kenikmatan itu. Nafas nya yang memburu menandakan beliau sedang dilanda nafsu birahi yang hebat. “Kuuuun……puasi akuuuu……. “ beliau merebahkan diri di atas tubuhku dan berbisik di telingaku. Aku berusaha menahan berat tubuhnya. Badannya panas sekali. Bau keringatnya yang khas menyeruak membangkitkan nafsuku. Kudorong tubuhnya ke samping, kini aku berhadap-hadapan dengan beliau dalam posisi miring. Susunya yang bulat putih itu kuremas-remas, terasa hangat dan kenyal. Telapak tanganku terlalu kecil untuk memegang payudaranya yang padat bulat itu. sambil kusodok lubangnya dengan penuh semangat. Setelah beberapa saat posisi seperti itu kurang nyaman rasanya. “Kamu……ssshhh. …kamu… di….ooouuh…di … atasssss….Kun…..” segera kuturuti perrmintaan beliau.
Aku merasa lebih leluasa melancarkan gerakanku. Kini aku mendengar music dangdut yang kudengar dalam mimpi tadi. Mbak Narsih menyalakan radio kecilku, yang gelombangnya tak pernah pindah dari radio swasta spesial dangdut. Kapan pula beliau masuk kamarku? Pertanyaan yang tak perlu dijawab, karena situasinya dalam keadaan “perang”. Di kamarku yang remang-remang, kulihat di bawahku sesosok wanita cantik, yang berhari-hari aku rindukan kehangatan tubuhnya. Mbak Narsih merindukan kehangatan suaminya, dan aku ketagihan merasakan kehangatan tubuhnya. Meskipun keinginan itu menggebu, tapi aku tak berani meminta. Aku anak kecil. Aku hanya numpang hidup. Pokoknya aku di posisi yang lemah. Kini tiba-tiba saja kesempatan itu datang. Setelah memperoleh kesadaran penuh, timbullah dorongan hasrat yang sangat kuat. Aliran darahku terasa semakin cepat. O, Mbak Narsih, …… kamu adalah mimpi terindahku setiap malam. tusukanku semakin mantap. Kurasakan sudut-sudut liang rahimnya yang hangat.
Memperoleh serangan balik yang dahsyat, Mbak Narsih memutar-mutar pantatnya. Pandangan matanya liar, mulutnya menganga, kadang-kadang menyeringai menahan kenikmatan yang merambati ujung-ujung syarafnya. Wajah cantiknya berubah ganas dan buas. tetapi wajah itu tidak membuat aku takut, malah semakin terangsang. Aku sudah lupa, bahwa wanita cantik yang menggeliat-geliat di bawahku adalah wanita yang seharusnya kuhormati. Karena begitu bersemangat sampai tempat tidurku yang sempit itu berkereyotan menimbulkan suara berisik. “Sssshh…. Jangan berisik….Kkkuuunnnh….hhffff….nan…ti…Mas Prassss…..bang…bang…ngun..” tersengal-sengal Mbak Narsih memberitahu aku. Hah? Ada Mas Pras? Edan tenan. Aku kaget sekali. Tak terasa gerakanku melambat dan berhenti. “Ayooo….. kenapa….terusss…keburu bangun dia….” Diangkat-angkatnya pantatnya. Kembali kulancarkan seranganku semakin cepat. Kurebahkan tubuhku di dada nya yang putih dan empuk itu. Kini jelas kulihat wajahnya. Rambutnya awut-awutan. Napasnya yang panas menerpa wajahku. “Mas Pras sudah pulang Mbak?” tanpa menghentikan gerakan aku bertanya
“Sudah, Kun….. ah Masmu payah.” Kuhisap-hisap putingnya sambil kuremas bukit empuk yang putih itu. Tak tahan diisap dipeluknya tubuhku erat, sambil mencurahkan keluhan hatinya “Aku belum apa-apa……Masmu sudah keluar…..langsung loyo dan tidur” “Aku nggak bisa tidur, lalu nyetel radiomu. “ beliau berhenti ngomong lalu mencium bibirku. Kami berciuman dalam kesunyian malam dan iringan irama dangdut. Suara radio ini dimaksudkan untuk menutupi “kegaduhan” di kamarku ini. Setelah bibir kami lepas. Aku turun dari tempat tidur diikuti Mbak Narsih. Beliau langsung berdiri membelakangiku, pantatnya yang besar itu disodorkannya. Sudut kemaluannya yang gelap itu kontras dengan bokongnya yang putih. Kuarahkan penisku ke sana. Karena terlalu naik, tangan beliau membantu menuntun ujung tongkolku ke arah yang tepat. Lagi-lagi kurasakan kehangatan yang nikmat itu. Kubenamkan semakin dalam. Lubang itu terasa lebih sesak sekarang. Belum pernah aku dalam posisi begini. Batangku yang panjang terasa bisa masuk lebih dalam. Mbak Narsih merintih keenakan.
“Terusssss…….,Kun…..cepet ke…..aahhh ….cepet….ayo kamu juga keuarkan…..” Aku pun sampai di ujung perjalanan, makin lama makin cepat. Lubang Mbak Narsih kali ini sudah becek sekali dan……”Kuuun…..aaaahhhhhhh……..” dipeluknya aku dengan sangat erat dan penisku terasa dijepit oleh benda lembut dan hangat yg berkedut-kedut. Kubenamkan dalam-dalam kemaluanku dan memancarkan cairan hangat ke liang senggama Mbak Narsih. Serrr….serrr…..ser…. Mbaaaakkkk……. Aduuuu…..aku keluar.” Beberapa saat kemudian beliau menghentikan semua gerakan , terduduk lemas di tepi tempat tidur. Setelah memperoleh kekuatan kembali, beliau beranjak keluar, menuju ke kamar mandi. Aku duduk di sofa kamar tamu menunggu beliau keluar dari kamar mandi. Masih bertelanjang, Mbak Narsih kembali ke kamarnya. Aku segera mencuci “peralatanku” dan kembali ke kamarku. Aku duduk di tepi tempat tidur dan merenung. Ada apa ini? Kucoba untuk merangkai-rangkai berbagai kemungkinan. Mas Pras tengah malam pulang. Pasti beliau sangat lelah. Mbak Narsih yang lama menunggu kedatangan sang suami, mungkin minta “oleh-oleh”.
Karena factor kelelahan atau sebab lain, tugas Mas Pras belum tuntas. Wanita yang haus ini sudah lama berpuasa, tentu nafsunya berkobar-kobar. Ibaratnya bertepuk sebelah tangan, Mas Pras masih lelah. Lalu tidak mampu memberi kepuasan. Kira-kira begitu. Akibatnya, karena tidak puas, ibaratnya makan belum kenyang, lalu nambah. Mungkin, beliau ke kamarku, mempermainkan burungku, sehingga tegang. Begitu bisa dipakai, segera dimasukkan dan dipompa. Saat itulah aku terbangun. Aku juga tidak tahu penyebab sebenarnya. Aku tidak berani bertanya. Hanya saja badanku terasa pegal-pegal sekarang. Aku jatuh tertidur dan….. bangun kesiangan. Aku takut keduluan Mbak Narsih. Segera aku bangun dan km dapur menyalakan kompor. Merebus air dan mencuci beras. Untung, beliau masih tidur. Kalau kedapatan aku bangun kesiangan, semua pekerjaan pasti beliau selesaikan dengan cepat dan rapi. Aku bisa mati langkah dan siap didiamkan berhari-hari. Lega rasanya. Sampai aku selesai mencuci pakaian dan nasi sudah masak mereka belum bangun.
Aku ambil uang belanja di lemari dapur dan beli sayur ke warung. Pulang dari warung Mbak Narsih dan Mas Pras sudah bangun. Aku menyapa dengan sopan, “Mas,tadi malam ya pulangnya?” “Heeh, gawekna kopi, le !” Mas Pras minta aku buatkan kopi. Kuseduh kopi kental tanpa gula. Itu minuman favorit nya. Kutaruh beberapa bongkah gula jawa di mangkuk kecil. “Wah, pinter kamu Kun. Uenake.. kopi pait karo ngemut gula jawa.” Katanya sambil menyeruput kopi hitam itu. “O, iyaa… kamu jadi sekolah nggak?” Aku tersenyum gembira, “ Jadi, Mas. Besok Senin Mas Pras masih di rumah?” “Pokoknya sudah kuberikan dananya dibawa mbakyumu. Minta saja. “ maksudku kuminta Mas Pras antar aku cari sekolahan, tapi mungkin beliau sudah harus kerja lagi. Ya, sudah nggak apa-apa Yang penting aku pasti sekolah. “Kenapa harus sama Mas-mu, malu ya dianter mbakyumu” tanya Mbak Narsih, biasa nadanya galak, aku sudah terbiasa dengan sifatnya itu. “Mboten, Mbak “ aku menjawab sopan dan menyatakan bahwa diantar Mbak Narsih aku juga mau Karena semua pekerjaaan pai itu sudah kelar.
Aku kembali ke kamar, untuk…..tidur. Lelah sekali badanku setelah “berjuang keras” semalam. Dari kamar kudengar mereka terus berbincang-bincang. “Dik, keliatannya berat badanmu tambah ya?” kudengar suara Mas Pras yang nge-bas. “Kok tau?” “Itu rokmu pada kesempitan.” “Mas Pras, sekarang harus percaya. Harus yakin.” Sepertinya Mbak Narsih serius. “Maksudmu kamu bener-bener bisa hamil?” masih datar suara Masku. “Biar aja apa kata dokter, apa kata tabib, sinshe boleh berteori, Aku sudah berhenti 2 bulan lho Mas. Lihat, nih perutku. Lho, …tambah lebar. Wudelku…tambah monyong.” Kubayangkan, pasti Mbak Narsih, membuka roknya dan memamerkan perutnya yang putih mulus itu. “Dik Narsih,……. Sungguh bahagia aku hari ini…..akhirnya aku bisa….oh…” tak ada lagi suara mereka bicara. Pasti mereka……kalau nggak berciuman ya berpelukan. “Makanya, jangan lama-lama perginya, Mas” itu suara Mbak Narsih. Lalu sepi lagi. Peristiwa selanjutnya aku tak tahu, karena aku tidur sampai siang. Tiga gari Mas Pras di rumah. Pagi itu dia harus berangkat.
Jam lima pagi, kernetnya datang memberi tahu kalau muatan sudah dinaikkan. Sudah ditutup deklit ,tinggal berangkat. “Kun, kamu cari sekolah yang deket-deket saja. Ngirit . Kalau bisa ar yang masuk siang, Biar ada yang membantu mBakyumu. Dia hamil, Kun. Aga Mbakyumu jangan sampai kelelahan.” Mas Pras berpesan sambil mengacak-acak rambutku dengan mesra. “Inggih, Mas.” Saya antar sambil membawakan koper berisi pakaian Mas Pras ke truk yang sudah diparkir di ujung gang. Lik Tarjo, kernet setia, memarkir truk itu di situ. Pagi itu juga aku diajak Mbak Narsih mencari sekolah buat aku. Aku pakai seragam SMP Negeri Dua Jogja, dan Mbak Narsih …….. ya ampun….. cantik banget. Pakaiannya sederhana, tapi cocok sekali dengan kulitnya dan tubuhnya yang tinggi semampai. Rambutnya yang agak kemerahan, menambah cantik wajahnya yang oval dihiasi biabir tipis, hidung bangir dan bulu mata yang lentk. Aku malu pada diriku sendiri, yang kecil dan hitam. Biar orang pada bilang aku hitam manis, tetap saja aku ini hitam. Ada sebuah SMP Swasta di jalan Raden Patah.
Masuk siang. Tidak jauh dari rumahku. Di kantor SMP itu Mbak Narsih menjadi pusat perhatian para guru, terutama bapak-bapak guru. Kalau kepergok Mbak Narsih mereka sedang memandangi dengan kagum, mereka terenyum ramah. Yang tidak enak kalau mareka melihat aku, pasti dengan pandangan curiga. Kalau adiknya kok tidak mirip. Kakaknya cantik, adiknya jelek, gelap lagi. Tetapi kalau pembantunya kok selalu digandeng . Mungkin begitu yang mereka pikirkan. Saat wawancara kulihat Bapak Gur yang berkaca mata minus itu berkali-kali melirik ke belahan dada, Mbak Narsih yang terlihat , karena bajunya berkerah lebar dan rendah. Kalau Mbak Narsih tertawa, dadanya terguncang-guncang, Bapak Guru itu ikut-ikutan tertawa. Tetapi matanya selalu ke dada itu lagi. Dasar lelaki. (Eh, aku laki-laki juga, ya) Aku tidak peduli. Yang penting aku sekarang sekolah lagi. Bulan Juli, aku sekolah lagi. Sementara itu perut Mbak Narsih sudah semakin besar. Banyak pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan lagi. Satu-satunya yang wajib dikerjakan adalah mengepel lantai.
Menurut Bulik Saodah tetangga depanku, itu baik untuk proses persalinan nanti. Jam sebelas pagi, semua pekerjaan harus sudah selesai. Karena jam setengah dua belas harus berangkat sekolah. Jalan kaki lewat Pengapon, lewat Pasar Kobong, sampai sekolah sekitar setengah jam. Praktis tenagaku sudah terkuras habis paginya. Di sekolah tinggal sisa-sisa tenaga. Erring aku berjuang keras melawan rasa mengantuk yang tak tertahan saat jam pelajaran. Sisi baiknya mengulang di kelas yang sama terasa amat mudah. Apalagi SMP swasta itu menurut penilaianku levelnya jauh di bawah SMP ku di Jogja. Senang sekali bisa bersekolah lagi. Karena aku dikira anak pandai, banyak yang suka bertanya peer. Kalo ulangan pada minta contekan. Pokoknya seru, deh. Pulang sekolah sampai di rumah hampir maghrib. Melihat rumah gelap, yang pertama kulakukan adalah menyalakan lampu pompa. Aku kasihan sama Mbak Narsih. Beliau nggak bisa menyalakan lampu Petromax. Masih berpakain seragam, kutengok keadaan dapur, jemuran dan kamar mandi untuk mengetahui mana yang belum beres.
Tetapi semua sudah rapi, kecuali air di kamar mandi kosong. Aku menimba air memenuhi bak mandi. “Wis Kun, nanti saja ngisinya. Kamu lelah.” Lemut sekali beliau menyapaku. “Cuma untuk mandi aku, kok Mbak.” Aku segera mandi. Rutinitas seperti itu terjadi setiap hari. Aku biasa mengerjakan peer dan belajar sampai malam. Jarang aku bisa ngobrol-ngobrol lagi. Aku benar-benar tenggelam dengan situasi baruku. Banyak guru yang kukenal baik dan mereka suka padaku. Sebenarnya aku biasa-biasa saja. Tetapi karena banyak teman yang bodoh dan nakal, maka di situ aku dianggap anak yang sopan dan pandai. Aku semakin merasa diterima . Aku sebenarnya melupakan sesuatu karena kesibukan sekolahku itu. Mbak Narsih. Dengan pertnya yang semakin membesar beliau sering menemani aku mengerjakan peer atau belajar. Sering beliau mengajak bicara, tetapi aku menjawab seperlunya, karena aku konsentrasi ke pelajaran. Saat itu sedang banyak ulangan. Aku sedang tenggelam dalam keasyikan belajar. Kuakui aku memang kutu buku. Matematika adalah pelajaran favoritku.
Seperti biasa, beliau duduk di sampingku, aku sibuk menulis dan mngerjakan soak-soal atau menjawab peer. Aku heran, kenapa sejak tadi Mbak Narsih tidak bertanya. Aku merasa ada yang tidak wajar. “Mbak, kalau sudah ngantuk sare dulu, to?” aku berbasa-basi sambil menoleh. Aku terkejut melihat mata beliau basah. Air matanya mengalir di piinya yang sekarang tampak tembem. “Mbak,……………….kenapa?” aku menghentikan aktifitasku. “Nggak apa-apa. teruslah belajar, kamu memang anak rajin, tekun dan baik.” Jawabnya diserati isak tangis tertahan. Apa maksudnya, ya? “Kamu dan Mas Pras sama saja, ya. Semua sibuk.” Kini tangisnya pecah. Aku bingung. Sebagai anak-anak aku belum bisa memahami perlunya memberi perhatian pada orang tua. Tetapi kini aku sadar, bahwa selama ini, aku melupakan kehadiran Mbak Narsih. Hatiku tersentuh oleh isak tangisnya. Secara naluriah kupegang tangannya. Kugenggam erat. “Mbak……. Maafkan Kun. Aku bener-bener keterlaluan. Aku salah, Mbak…..” tak bisa kulanjutkan kata-kataku. Dadaku penuh keharuan. Mataku jadi panas dan basah.
Kupeluk beliau dengan penuh perasaan menyesal. Mbak Narsih tetap menangis dan sikapnya pasif sekali. Kucium tangannya, kuciumi pipinya diaaaam saja. Aku menjadi serba salah. Karena malam semakin larut dan Mbak Narsih tidak juga masuk kamar, masih tetap duduk di sofa. Aku ambil inisiatif. Kuambil selimut dan bantal. Kurebahkan beliau di sofa. Menurut saja. Kuselimuti diam saja. Malam itu aku menunggui beliau tidur di sofa, aku tidur di karpet di bawah sofa. Subuh pagi aku dibangunkan, disuruh mengantar ke kamar mandi. Kutuntun beliau. Tanpa menutup pintu beliau langsung mengangkat daster dan jongkok. Soorrrrrrr…. Aku jadi tau, bahwa orang hamil itu suka bermanja-manja. Suka minta yang aneh-aneh. Mulai hari itu aku lebih banyak memperhatikan keadaan beliau. “Kun, aku pengin dimandiin seperti waktu aku sakit dulu itu, lho” “Baik, Mbak.” Aku siapkan air hangat dan lap pel. Kumasukkan kursi kayu ke kamar mandi. Tanpa ada rasa malu sedikitpun beliau langsung telanjang di hadapanku. Lucu juga melihat bentuk tubuhnya.
Perut maju, pantat semakin lebar. Putting susu jadi hitam dan lebar kini bongkahan bukit kembar yang putih itu semakin melebar saja. Kupandangi semuanya itu dengan pebuh kekaguman. Apa bisa orang hamil itu “digituin” ya? Aku berpikiran ngeres. Badanku terasa panas dan penisku semakin mengeras. Kini beliau sudah duduk. Segera kuguyur tubuhnya dengan air hangat. Tibunya kini bercahaya bagai dilapisi kaca. Kusabuni punggungnya. Pantatnya,. Penginnya aku menyabuni bagian depan. Susunya sangat menantang untuk disentuh, tapi aku masih jaim. Mbak Narsih rupanya tidak sabar dengan sikapku yang sok jaim itu. Dipegangnya tanganku yang membawa sabun. Di arahkan ke dadanya. Saat kusabuni, benda kembar itu terayun-ayun. Aku tau beliau paling suka kalau sambil diremes, Bener juga, beliau mendongak ke atas menahan nikmat. Kini tangaku berada diperut beliau. Aku jongkok di hadapan beliau. Kemaluan beliau Nampak jelas. Ditumbuhi rambut jarang. Kusabun perutnya dulu, makin lama makin turun. Akhirnya sampailah jariku di tepi “hutan” Tak sabar jariku segera menyentuh si merah kecil.
Begitu kena sentuhan, desisnya semakin jelas terdengar. Ketika aku berdiri mengambilkan sabun, tiba-tiba langkahku tertahan karena celanaku diturunkan, padahal aku sedang tidak mengenakan CD. “Kamu duduk di situ.” Mbak Narsih berdiri. Aku duduk di kursi dengan batang tegak teracung. Mbak Narsih pelan-pelan mengarahkan pantatnya dan duduk dipangkuanku. “Lho, Mbak…….nggak apa-apa?” tapi sebagai jawaban pantat nan putih itu semakin turun. Satu tangan beliau memegang penisku mengarahkan ke lubangnya. Masuknya “si hitam” ke lubang kenikmatan itu disertai desisan yang punya lubang. “Oohhhh….sssssh” Pantat beliau naik turun diiringi bunyi crop…crop….crop….. “Enak…..banget Kuuuun…..hhh….hhh…..hhhh…..” Aku mengambil gayung lalu kuguyur badannya yang penuh sabun itu. Aliran air hangat itu menambah nikmat persetubuhan aneh itu. Kuguyur lagi sambil kugosok punggung dan pundaknya. Begitu terus menerus sambil aktif naik turun beliau tetap kumandikan. Dari pantulan cermin di kamar mandi, kulihat susunya terayun-ayun indah saat pantatnya aktif naik turun.
Kedua tanganku meraih kedua bukit kembar itu. Kubelai-belai dan kupelintir puting hitam besar itu. “Aaaahhhh……terussss….kamu pinter….Kun…..” gerakan naik turunnya melemah, kelelahan juga akhirnya. Sekarang Mbak Narsih duduk di bibir bak mandi yang cukup rendah dan lebar. dibukanya lebar-lebar kedua pahanya. Lubang kenikmatannya yang sudah amburadul itu menganga. Sikunya bertelekan di tembok. Sambil berdiri kumasukkan lagi “tongkat ajaib” yang disukai Mbak Narsih itu. Dalam posisi tengadah seperti itu kukira lubang itu akan semakin lebar dan kendor. Tetapi aneh, malah tambah seret dan menggigit. Kamar mandi itu menjadi ajang “pertempuran aneh” Perutnya yang membuncit bergoyang-goyang saat kusodok-sodok. Baru tau aku sekarang. Ternyata orang hamil, masih suka “main”, Menurutku malah lebih “hot” “Kuuuuunnn….. jangan …..tinggalkan Mbak Narsih……” “Tidak lagi…Mbak.” “Addduuuuu……kono kuwi Kun…….enaaaaakkkkk…….” “Mbaaaaak……. Tempikmu…..anget banget, Mbak……..” “Teruussss……yang dalam…..dalam…….” “Mbaaaakkkk…..aku nggak tahan lagi…….ayo Mbaak.”
“Ooohhhh….ssshhh……aku….aku……juga……hampiiiiirr …….Ku uun” Mbak Narsih memutar-mutar pantatnya dan aku menghunjam semakin dalam. Gelombang kenikmatan datang bergulung-gulung…….nafas kami berdua terpantul berisik oleh dinding kamar mandi beratap seng. Keringatku membanjir demikian pula Mbak Narsih. Bau sabun wangi yang bercampur bau keringat menimbulkan suasana aneh yang sangat merangsang. Akhirnya tak kuat lagi kami menahan datagnya tsunami kenikmatan itu. Pancaran spermaku terasa deras menyemprot dinding rahim beliau yang juga banjir. Karena licin, tubuh Mbak Narsih kepleset nyemplung utuh ke bak mandi. Untung bak mandinya rendah dan berisi penuh air, sehingga tidak terasa sakit. Kubantu untuk mentas. Kini aku sendiri mandi jebar-jebur membersihkan diri. Mbak Narsih membantu menggosok punggungku. Handuk kita pakai berdua. Masih bugil, kutuntun Mbak Narsih ke kamarnya. Beliau tidak ambil ganti pakaian malah tiduran. Aku ditariknya untuk ikut tidur. Padahal sudah jam setengah sembilan pagi. “Kun……..bawa sini manukmu……”
“Mau apa Mbak…..” Tak banyak bicara…. Segera mulutnya menciumi burungku yang kini tegang lagi. Melihat benda ini bertambah panjang dengan cepat, tak sabar Mbak Narsih memasukkan ke dalam mulutnya. Aku jadi berkelojotan. Rasanya geli-geli nikmat….. “Kun, puasi aku. Kamu biarkan Mbak Narsih kesepian sejak kamu sekolah. Ayo hari ini kamu nggak boleh masuk.” Adduuh, padahal ada ulangan dan aku sudah belajar mati-matian. Memang benar-benar gila sex wanita satu ini. Pagi itu aku melayani beliau sampai jam sebelas. Belum belanja, belum masak. Pagi yang melelahkan. Seharian beliau bermanja-manja. Makan minta disuapi. Mandi harus ditunggui. Mengingat pesan Mas Pras, ku rela tidak masuk hari itu.
Tamat