"Kok ngeliat kayak mau makan orang?"
"Cemburu kali?"
"Sialan," Lenvy mendesis. Lalu senyumnya kembali mengembang.
"Ray," kata gadis itu, "nanti malam.."
Ray menyela, "Aku capek. Pasti capek."
"Kok begitu? Kamu marah tentang waktu itu?"
"Aku? Ngga kok. Aku cuma ingin istirahat."
"Kamu pasti marah. Ya sudah, aku pulang saja."
"Hey," ucap Ray, "dua minggu lagi, bagaimana?"
"Dua minggu? Lama sekali?"
"Aku ke Bali minggu depan."
"Bali? Ngapain?"
"Liburan. Seminggu. Jadi?"
Senyum Lenvy kembali mengembang.
"Oke, tapi aku boleh telepon kan?"
"Iya lah," sahut Ray, balas tersenyum. Lenvy melirik ke kanan dan ke kiri, lalu sambil menggigit bibirnya, gadis itu melambai dan berbalik tanpa mengatakan apapun. Ray menyeringai. Lenvy pasti ingin bercinta dengannya saat itu juga. Tertawa sendiri, Ray menenggelamkan diri dalam kesibukannya. Ia harus menyelesaikan semua sisa pekerjaannya sebelum akhir minggu.
Siang yang panjang itu dihabiskan Ray untuk berbelanja di mall. Seperti biasa, Ray hanya sendirian saja. Pemuda itu benar-benar menikmati kebebasannya. Ia keluar masuk berbagai toko, mencoba-coba pakaian, parfum, bahkan topi pet. Gayanya yang cuek dan cengengesan benar-benar mengundang perhatian.
"Berdandan yang keren. Kamu butuh itu, selain mulutmu," begitu kata Pak David sebelum ia pulang tadi. Ya, Ray memang membutuhkannya untuk minggu depan. Ada apa dengan minggu depan? Minggu depan Ray ke Bali. Itu saja? Tidak. Ray ke Bali dengan misi. Misi untuk merebut hati seorang gadis cantik. Gadis yang akan menjadi sumber dana bagi Pak David, dan tentu saja sebuah keuntungan tertentu bagi Ray. Hanya saja, Ray mengeluh panjang lebar saat Pak David memberinya sangu enam juta, yang hanya seperseratus nilainya dibandingkan dengan keuntungan yang akan mereka peroleh dari si gadis. Tapi enam juta sudah nilai yang lumayan untuk membeli perlengkapan. Lagipula itu membuktikan bahwa Pak David yang pelit sayang padanya, meskipun pemuda itu mengacaukan semua peraturan di kantornya.
Untuk Pak David, Ray tidak hanya punya ide-ide imajiner yang unik, namun juga kemampuan bernegosiasi dengan orang lain. Ray menyihir setiap orang yang berbincang dengannya, kata Pak David pada semua orang, dan pemuda itu membuat semua orang berjalan sesuai kehendaknya. Kalau ada yang menanyakan pada Ray tentang hal itu, Ray akan berkata, "Ah, aku tidak menyihir. Aku hanya memahami apa yang mereka butuhkan, mencoba menawarkan apa yang bisa kuberi, dan aku percaya orang akan melakukan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan itu."
Itulah Ray. Ia akan melakukan persis seperti apa yang pernah dilakukannya waktu masih kuliah, saat ia mengobrak-abrik dewan senat fakultas hanya karena Jay, sahabat karibnya, berkata, "Tolong, Ray. Aku mau jadi ketua senat."
Walaupun saat itu Jay gagal karena kesalahannya sendiri, namun Ray tak urung berhasil membuat sepuluh gadis gila dalam sebulan, dan kekasih-kekasih mereka, para pengurus dan calon ketua senat itu, gila selamanya.
Hanya masalah wanita? Tentu saja. Bagi Ray, hanya tiga hal yang mengontrol dunia ini, yaitu: harta; tahta; dan wanita.
Cuma satu problem yang menantinya. Cuma satu beban yang ada di benaknya. Resiko dari para perayu yang menggunakan kemampuannya untuk memperoleh uang dan kekuasaan, bukan sekedar kenikmatan. Yaitu cinta.
Cinta??
Selamat pagi cinta..
Makna dari cinta yang di pahami oleh Ray, hanya sebuah sebutan singkat untuk rasa memiliki, rasa sakit, dan keperihan. Beberapa orang puitis mengatakan cinta itu indah, namun merintih saat cinta itu mengkhianati egonya. Ya, hanya ego yang ada dalam cinta. Ray, seumur hidupnya mencoba untuk membentuk arti lain dari kata cinta. Membentuknya menjadi satu kata yang lain, yaitu kasih sayang. Banyak orang melupakan arti kasih sayang, dan malah berbalik mengubahnya menjadi kata 'cinta'. Ray tak ingin demikian. Ray ingin menghayati kasih sayang seperti apa adanya. Sesuatu yang tak menuntut balas. Sesuatu yang murni. Seperti seorang ibu yang menyusui anaknya, begitulah pancaran kasih sayang yang seharusnya keluar di antara manusia. Sesuatu yang merelakan. Sesuatu yang memahami dan mengerti. Seperti senyum sang nenek kala usia mengalahkan kokohnya sang kakek..
Tapi gadis yang pagi-pagi buta itu membuka pintu rumahnya, ia adalah salah satu yang mengerti apa yang ada di dalam benak Ray. Itu yang membuat Ray menghabiskan dua hari dalam seminggunya, khusus untuk gadis itu.
Namanya Moogie.
Moogie tidak mencintai Ray. Ia juga tak berusaha membuat pemuda itu mencintainya. Orang bilang gadis itu bodoh. Orang bilang dia gila. Tapi bagi Moogie, hanya kasih sayang yang membuat Ray merasa nyaman, dan kasih sayang pula lah yang membuatnya pagi itu membungkuk di samping tempat tidur si pemuda, dan mengecup pipinya.
"Selamat pagi, cinta," bisik Moogie lembut. Ray menggeliat, dan membuka matanya. Pemuda itu tersenyum dan balas berbisik, "Kamu Cinta. Namaku Rangga. Dan aku merindukanmu."
Moogie tertawa, menangkap guyonan yang sekarang sedang menjadi trend di kalangan anak-anak muda itu.
"Ray, aku bikinkan sarapan? Atau kamu masih mau tidur?" bisik gadis itu lagi, sementara jemarinya menyisiri rambut kusut Ray.
"Sarapan saja. Seminggu sudah aku kelaparan," sahut Ray, memejamkan matanya.
Tersenyum, Moogie bangkit berdiri. Gadis itu melepas jaketnya, dan menaruhnya di atas komputer yang masih menyala. Moogie memandangi huruf-huruf yang berjejer di layar monitor, sesaat kemudian gadis itu menggeleng-gelengkan kepala dan melangkah keluar kamar.
Ray tersenyum saat bau makanan dan suara teletik minyak memaksanya bangun. Pemuda itu beranjak dari tempat tidur, melangkah gontai menuju dapur. Di sana ia melihat Moogie sedang sibuk menggoreng sesuatu.
"Hmm," Moogie menggumam, saat merasakan Ray memeluknya dari belakang. Pemuda itu mengecup daun telinga si gadis, membuat gadis itu tertawa beberapa saat kemudian.
"Kenapa? Geli? Mau diterusin?" bisik Ray.
"Terusin, maka kamu akan kehilangan nasi goreng kornetmu," ucap Moogie tersenyum. Ray terkekeh, melepaskan pelukannya dan melangkahkan kaki menuju kulkas. Pemuda itu meraih kotak susu Anchor dan membiarkan cairan kental putih itu membasahi kerongkongannya.
"Bagaimana Jakarta?" tanya pemuda itu, setelah membuang kotak kosong ke dalam tong sampah.
"Baik-baik saja. Baru ada perayaan besar-besaran. Sayang kamu ngga ada di sana."
"Shoot. Aku ngga suka keramaian."
"Ralat, kamu ngga suka bergabung dengan komunitas yang kamu ngga kenal."
"Hahaha," Ray tertawa, dan menarik kursi. Sambil duduk, pemuda itu memandangi Moogie memindahkan nasi goreng dari penggorengan ke piring.
"Kenapa hanya satu?" tanya Ray begitu Moogie meletakkan piring di atas meja, berikut segelas air putih.
"Aku sudah makan tadi di jalan. Masih kenyang," sahut Moogie, mendudukkan tubuhnya di kursi samping Ray. Ray mengangguk-anggukkan kepalanya, dan sudah hendak meraih sendok saat Moogie mendahuluinya.
"Sini, aku suapin. Aku lagi pingin manjain kamu," ucap Moogie sambil tersenyum. Ray terkekeh, dan membiarkan gadis itu menyuapinya. Beberapa butir nasi jatuh dari mulut si pemuda. "Kamu tuh. Dasar bayi besar," ucap Moogie, menjumputi satu demi satu butir nasi di pangkuan Ray.
"Yiyayin, yamaya yuya yapay," gumam Ray tak jelas. Moogie tertawa, satu jitakan lembut melayang ke kening si pemuda. Ray menggerutu, sesaat kemudian membuka mulutnya lebar-lebar.
"Jadi, ceritakan tentang gadis-gadismu seminggu ini," ucap Moogie, setelah menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut Ray.
"Hmm," Ray mengunyah, menelan dan mulai bercerita tentang Cynthia, Lenvy, Reni dan Ella. Moogie mendengarkan, sambil sesekali menyendokkan makanan ke mulut Ray. Empat kali Moogie mengomel, menjumputi nasi dari pangkuan Ray, sebelum nasi goreng di piring dan cerita Ray berakhir.
"Kasihan mereka," ucap Moogie, bangkit berdiri dan membawa piring kosong dan sendok untuk dicuci.
"Entahlah. Menurutmu aku kejam?"
"Ngga tahu. Kan kamu yang bisa jawab. Aku sih cuman bisa bilang, kalau maksudmu baik, dengan menemani mereka menjalani hidup. Tapi, kadang-kadang kamu lupa kalau wanita punya perasaan. Yah, sukur-sukurlah kalau kamu mengerti," Moogie berkata, sembari tangannya sibuk memainkan busa penggosok piring.
"Tentang Ella, aku cuma bisa bilang kalau dia korban situasi. Yah, yang kamu katakan ke dia memang benar. Tapi semoga saja ia tidak berubah terlalu cepat. Kan perubahan cepat yang tak disertai akal sehat sama saja dengan impulsif. Ngga banyak orang lho, Ray, yang bisa tahan dengan efek sampingnya. Kalau kamu sudah bisa kasih nasihat ke dia, berarti kamu harus membimbing dia, supaya ngga salah jalan," lanjut Moogie.
Ray menenggak kembali air di gelasnya, lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata, "Aku tahu tentang semua itu."
Moogie berpaling dan tersenyum, "Kamu tahu, tapi kamu masih saja lupa. Ngga ada salahnya kan aku mengingatkan kamu?"
"Iya. Mirip jam weker," celoteh Ray.
Moogie membalikkan tubuh, melempar busa-busa sabun ke arah Ray. Pemuda itu terkekeh, tak berusaha menghindar, lalu dengan cepat berdiri dan memeluk si gadis. Tatapan mata mereka bertemu. Ada sejuta rasa yang tak terungkap di sana. Di dalam Ray, dan di dalam Moogie. Tak terlalu lama waktu yang dibutuhkan, untuk keduanya memejamkan mata dan membiarkan bibir mereka beradu.
"I miss you," bisik Ray, melepaskan bibirnya. Moogie membuka mata, tanpa tersenyum gadis itu balas berbisik, "Aku lebih dari itu."
"Sampai ke tulang sumsum?"
"Sampai ke mimpi yang terburuk."
"Buruk?"
"Mimpi saat aku menikahimu."
Ray tertawa, melepaskan pelukannya, "Kenapa itu buruk?"
"Sebab kebaikan tanpa kepastian lebih buruk dari sesuatu yang buruk tapi pasti."
Ray tak menyahut, membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan dapur.
"M," panggil Ray beberapa langkah kemudian. Moogie berpaling dengan alis terangkat.
"Nanti kalau sudah, ke kamar ya. Aku mau peluk kamu sampai siang nanti."
Moogie tersenyum dan mengangguk.
"Aku pasti cepat datang," sahut si gadis. Tapi pemuda itu sudah menghilang.
Moogie menggeleng-gelengkan kepalanya, meneruskan membersihkan penggorengan. Dalam perjalanan menuju kamar, Ray mendengar gadis itu bersenandung. Ada sesuatu yang perih di hati Ray, namun segela hilang ditelan lembutnya tempat tidur.
Sepuluh menit berlalu, pintu kamar terbuka. Ray membalikkan tubuh dan melihat Moogie melangkah menuju lemari. "Aku pinjam kausmu, aku lagi malas buka tas," ucap Moogie.
"Kenapa ngga pakai kaus?" ucap Ray. Moogie berpaling dan mencibir.
"Aku capek."
Ray tertawa, "Hahaha. Lalu kenapa kalau capek?"
Tersenyum, Moogie melepas kemeja biru mudanya, menyusul celana jeans yang dikenakannya.
"Kalau begitu," kata si gadis kemudian, "aku ambil selimut dari lemari, dan.."
Moogie membuka lemari pakaian Ray, mengeluarkan sebuah selimut, lalu sambil mengeluarkan seruan kecil, gadis itu melompat ke atas tempat tidur. Ray terkekeh-kekeh, menyambut gadis itu dalam pelukannya. Moogie menyambar bibir Ray, lalu berbisik, "Aku benar-benar kangen."
"Iya. Aku juga," sahut Ray. Mereka berciuman lagi.
"Ray, geser agak sana," ucap Moogie, melepaskan bibirnya dan mendorong tubuh Ray agak kesamping. Tertawa, Ray membiarkan gadis itu meletakkan kepala di dadanya. Tangan Ray terangkat, menyusup ke dalam selimut yang dikenakan Moogie, dan mulai mengusap lembut punggung gadis itu.
"Ray, kenapa ya, kalau dekat kamu aku pasti ngantuk?" tanya Moogie setengah menggumam.
"Itu namanya hangat," bisik Ray, mendekap tubuh si gadis erat-erat. Moogie mengangkat lengan Ray, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan pemuda itu.
"Mmm," gumam Moogie lagi, merapatkan tubuhnya.
"M, kamu tahu ngga? Minggu depan aku ke.." tanya Ray.
Tak ada sahutan.
Ray melirik ke bawah, dan melihat mata Moogie sudah terpejam, dan nafasnya naik turun dengan lambat.
"Ya. Kamu pasti capek," bisik Ray, menekan ujung hidung Moogie, "istirahat saja. Aku akan cerita untuk minggu depan. Satu cerita saja." Ray lalu membiarkan matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Entah mengapa, pemuda itu mulai merasa matanya membasah. Sesuatu yang tak pernah ia mengerti, setiap saat ia menidurkan Moogie di dadanya. Dalam pelukannya.
Saat-saat perih itulah, saat-saat dimana Ray mentransformasi semua cinta yang ada dalam dirinya menjadi sebuah kasih sayang.
Sudah pukul lima seperempat di hari keenam itu.
Ray tak ingin bangun sampai Moogie bangun.
TAMAT