Sambungan Dari Bagian 3
Sore menjelang saat Ray melangkah menuju ruangan Pak David sambil menenteng map merah di tangan. Pemuda itu mendapati ruangan itu sudah kosong. Tak berapa lama setelah Ray masuk, Ella muncul di depan pintu.
"Pak David sudah pulang, Ray."
"Wah, kok aku ngga tahu ya?" gumam Ray, lalu mendekati Ella dan menyerahkan map merah di tangannya, "Ini, aku ngga tahu apa salahnya. Mungkin cuma perlu penambahan sample buat mahasiswa. Lagipula itu kan ngga ada hubungannya denganku. Dasar Pak David saja yang kelewat baik liat aku nganggur."
Ella tersenyum dan menerima map yang disodorkan Ray.
"Oke, aku saja yang masukkan ke lemari arsip."
"Thanks," sahut Ray pendek, lalu melangkah keluar. Baru selangkah di luar pintu, pemuda itu membalikkan tubuh.
"La, kamu nganggur malam ini? Semoga tidak. Soalnya aku nganggur. Dan kayaknya aku butuh teman buat ngobrol sambil makan malam. Bagaimana?"
Ella menoleh dan membetulkan letak kacamatanya.
"Huh? Malam ini. Iya.. eh, aku ada acara. Sori, Ray."
Ray tersenyum, "Bohong. Tapi ya sudahlah. Omong-omong, kamu pakai bra warna putih ya? Bagus tuh. Sayang terlalu berenda, kamu jadi nampak tua."
"Ha? Kurang ajar benar," maki Ella, tanpa sadar merapikan kaus dalamnya yang memang sedikit turun. Ray terkekeh dan melambai sambil melangkah pergi.
Suasana kantor benar-benar sudah sepi saat Ray selesai merapikan mejanya, bahkan Yossi tak tampak batang hidungnya. Pemuda itu baru saja hendak menekan tombol elevator, saat elevator itu membuka dan sosok seorang pria melangkah keluar dengan terburu-buru. Ray menoleh dan melihat pria berjaket kulit hitam itu berjalan cepat dan menghilang di balik lorong menuju ruangan Pak David. Ray melirik sekilas ke arah jam di dinding lorong. Pukul enam kurang seperempat. Ray mengeluh, mungkin ia harus benar-benar berburu lagi malam ini. Atau sebaiknya ia pulang dan menikmati sehari berlibur dari wanita? Bingung sendiri, Ray masuk ke dalam elevator, tepat sebelum elevator itu menutup.
"AA!!"
Ting-tong.
"Hey! Hey!!" Ray menahan pintu elevator sekuat tenaga. Gagal, pemuda itu lalu mulai memencet tombol pembuka di panel samping pintu elevator. Begitu pintu itu membuka, Ray langsung berlari menuju ruangan Pak David.
Pria itu menubruknya. Ray mengaduh dan sempat terhuyung.
"Minggir!" Ray mendengar suara yang serak dan berat. Saat pemuda itu kembali pada keseimbangannya, pria berjaket kulit hitam sudah berlari menuju elevator.
"Monyet!" umpat Ray, lalu ia tersadar sesuatu. Cepat Ray berlari menuju ruang Pak David. Di sana ia mendapati sosok Ella
terduduk di atas kertas yang berceceran. Sanggul kecil di kepala gadis itu tertarik lepas, membuat rambut-rambut panjang kusut menutupi wajahnya.
"La? La? Hey!" Ray menekuk lututnya di samping Ella. Sedikit terkejut pemuda itu melihat darah segar di sudut bibir si gadis.
"Uhh," Ella terdengar menggumam. Sesaat kemudian, seperti tersengat arus listrik, lengan gadis itu mendorong tubuh Ray
sampai terduduk.
"Ray? Jangan!"
Ray hanya bengong melihat Ella meraba-raba lantai, mencari kacamatanya. Ray melirik dengan matanya, dan melihat kacamata yang pecah itu di bawah meja kerja Pak David.
"Di sana, di bawah meja," ucap pemuda itu. Ella hanya mengerang, lalu mengulurkan tangannya. Si gadis tampak sedih saat memegangi benda yang lebih mirip ayam penyet daripada kacamata itu.
Sesaat kemudian gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap Ray sambil memicingkan mata. Sekejap Ray merasa risih, karena raut gadis yang ada di depannya sama sekali tak menunjukkan bahwa ia adalah Ella, si sekretaris kolot. Ray jadi teringat serial Betty la Fea, novelatina idola ibu-ibu rumah tangga itu.
"Sori, aku membuat kamu jatuh," ucap Ella. Ray mengangkat bahunya.
"Heran. Aku lihat kamu habis dipukulin sama monyet hitam tadi. Kok kamu malah bisa-bisanya sana seperti itu?"
"Iya, orang tadi adalah mantan suamiku."
"Ha? Aku ngga pernah tahu kamu pernah punya suami?"
"Iya. Sedikit sekali yang tahu. Bagian dari masa muda."
"Mau cerita?"
"Kamu ngga pulang?"
"Toh aku nganggur."
"Percuma juga. Ngga ada yang perlu kamu ketahui."
"Hey? Aku sudah melihat apa yang terjadi. Setidaknya aku terlibat sampai sejauh kamu mendorong aku jatuh. Masa aku ngga boleh tahu?"
"Kamu.."
"Iya. Aku memang rewel sejak lahir. Usil juga sejak lahir. Omong-omong, ini sapu tanganku. Lap dulu bibir kamu," Ray berkata, lalu melempar dasi yang semenit lalu sudah dirogohnya dari saku celana.
"Ray, ini dasi."
"Wah?"
Ella tersenyum.
Ray terpesona.
"Oh, jadi umur enam belas tahun?" tanya Ray, sementara tangannya menarik keluar cangkir dari cofee-maker. Ella mengangguk. Saat itu ia sudah kembali menjadi Ella yang membosankan, lengkap dengan sanggul kecilnya, meskipun kacamata sudah tak menghiasi wajahnya lagi.
"Bodoh, kan? Dan hanya tiga tahun. Sebelum Eko pergi dengan gadis lain, karena aku mandul," ucap Ella, matanya menemukan mata Ray, menanti respon si pemuda. Ray tak menunjukkan sikap terlalu terkejut, tidak pula memandang dengan pandangan mencemooh atau sok simpati. Untuk Ray, masalah mandul atau tidak bukan menjadi suatu masalah yang patut diperbincangkan. Pemuda itu selalu berpendapat bahwa manusia tak ada yang sempurna, dan untuk itu semua orang harus bersyukur pada bagaimana ia diciptakan. Tak perlu dicaci, tak perlu juga dikasihani.
"Wah, sorry 'bout that," ucap Ray datar," Lalu kenapa dia ada di sini?"
"Itulah, Ray," ucap Ella, nadanya berubah menjadi lebih rendah, "Suatu saat ia datang dan merasa bahwa dirinya ngga bisa hidup tanpa aku. Ia meninggalkan wanitanya yang baru, dan memintaku kembali padanya."
"Oh. Kapan itu?"
"Sekitar enam bulan yang lalu."
"Hmm," Ray menggumam, menghirup kopi dari cangkir di tangannya.
"Lalu? Kamu ngga mau, pasti?" tanya Ray kemudian.
Ella menganggukkan kepalanya.
"Aku sudah delapan tahun berpisah dengannya. Aku ngga ngerti kenapa ia bisa kembali setelah sekian lama."
"Coba kutebak," sahut Ray, "ia pasti pengangguran sukses, dan melihat kamu berkarir, ia mulai merasa menyesal mengapa ia menyia-nyiakan kamu."
"Mungkin."
"Memang kamu dulu begitu cinta padanya?"
"Aku baru enam belas tahun."
Ray tersenyum, melepaskan pengikat rambutnya dan berkata, "Menakjubkan kalau kamu bisa survive di umur sembilan belas, saat banyak orang lebih cenderung impulsif dengan bunuh diri karena cinta."
"Kan ngga semua orang, Ray. Apalagi aku sudah pasrah waktu aku tahu kalau aku ngga bisa kasih keturunan padanya."
"Iya, aku bisa ngerti. Tapi pria memang begitu, La. Begitu ia tahu ada seorang wanita yang begitu mencintainya, meskipun itu sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu, meskipun ia sudah membuat hati wanita itu hancur lebur, tetap saja ia yakin ia bisa membuat wanita itu kembali padanya."
Ella tersenyum. Ray tahu bahwa itulah senyuman getir seorang wanita.
"Lalu acara pukul-pukulan itu?" Ray bertanya, menangkap perubahan pada raut wajah Ella. Gadis itu tampak sedikit gugup.
"Itu.. ah, dia memang suka memukul."
"Aku kok ngga percaya?"
Ella memalingkan wajahnya menatap jam di dinding ruangan.
"Ray, sudah jam tujuh. Kita pulang, yuk? Ada Yossi di depan?"
Ray tertawa, "Yossi sudah kukasih uang sepuluh ribu buat jajan di soto depan. Hehehe, bercanda kok. Memang ada apa sampai kamu ngga bisa cerita?"
"Kenapa kamu mesti tahu? Aku saja sudah heran kenapa aku bisa berbincang dengan kamu segini lamanya tentang masalahku."
Ray menatap wajah Ella, memaksa gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"La," Ray berkata, "semua orang butuh seseorang untuk bercerita. Okelah, kalau kamu memang tak ingin orang itu aku.
Tapi, apa kamu sudah punya orang lain? Kalau sudah punya, baguslah. Kalau belum? Aku bukan orang yang susah diajak berbincang, kan? Aku juga bukan ember yang kalau diketok suaranya sampai ke negeri seberang."
"Aku..," Ella menggumam.
Ray tak mengalihkan pandangannya dari Ella. Gadis itu memalingkan wajahnya dan menatap Ray.
"Aku tak percaya sama kamu, Ray."
"Ngga? Hey, terserah kamu."
Mereka berdua saling tatap, sebelum akhirnya Ella menghembuskan nafas.
"Hhh. Oke. Aku kasih tahu."
Ray diam menunggu.
"Aku adalah simpanannya David. Eko tahu itu. Dia memerasku."
"Whups!!" Ray berseru, nyaris saja kopinya tumpah ke meja.
"Wawawawawa!! Tunggu dulu," Ray berseru, meletakkan cangkir kopinya ke atas meja dan merogoh Marlboro-nya.
<
"Aku sudah bilang, kamu ngga perlu tahu."
"Sori. Aku cuman terkejut," ucap Ray, menyalakan rokoknya.
"Kenapa? Karena aku Ella? Kesannya nggak mungkin, kan?"
Ray merasa sedikit malu, tapi pemuda itu lebih memilih jujur dengan menganggukkan kepalanya. Ella terdengar tertawa sinis.
"Iya. Aku ngga mau merusakkan citra David. Aku ngga mau siapapun tahu."
"Aku?"
"Kamu.. aku juga ngga tahu kenapa bisa cerita ke kamu."
Ray tersenyum, Ella bukan orang pertama yang mengatakan demikian padanya.
"Ya anggap sajalah aku seorang saudara yang baik."
Ella tersenyum, "Iya lah. Lagipula aku memang butuh orang untuk berbincang. Seperti kata kamu tadi."
"Lalu, kamu jatuh cinta pada David? Sori, Pak David?" tanya Ray mengembalikan topik pembicaraan. Ella menggelengkan kepala.
"Wah? Lalu kenapa pakai jaga citra segala?"
"Ray. Aku juga butuh uang untuk hidup. Aku jaga itu."
Ray terdiam sesaat. Kata-kata Ella memang pendek dan tak lengkap, tapi Ray bisa menangkap sejuta kata yang menyembur keluar dan terangkai menjadi sebuah cerita yang cukup mengundang simpati.
"Iya. Kamu salah seorang survival yang pakai otak."
Ella mengangguk, "Keadaan memaksaku demikian."
"Sayang kamu ngga pakai otak musuh mantan suamimu."
"Hmm. Aku tak mempermasalahkan uangnya, tapi.."
"Susah kan? Aku bisa lihat dari wajahmu, kalau itu susah."
"Aku sendiri ngga mengerti."
"Saat kamu mencoba untuk menjadi satu sosok yang tough, saat kamu merasa tak seorangpun bisa mengalahkan kamu, ternyata ada saja yang bisa buat kamu down," Ray berkata sambil tersenyum. Ella kembali menganggukkan kepalanya.
"Lalu apa yang akan kamu perbuat?" tanya Ray lagi, "Aku yakin kamu tak pernah punya niat untuk melapor ke polisi."
"Aku ngga tahu," jawab Ella, wajahnya terlihat sedih. Ray menarik nafasnya dalam-dalam, lalu mendekati Ella.
"Mari," kata pemuda itu, "aku akan menjadi orang berikutnya setelah mantan suamimu. Sini aku bilangin sesuatu. Ya, kamu orang yang bodoh. Kamu sama sekali tidak tough. Kamu lemah. Dan kamu adalah seorang pecundang."
Ella tak menyahut, kepalanya menunduk.
"Ada lagi?"
"Ada," ucap Ray, "kamu akan tetap menjadi pecundang apapun yang kamu lakukan."
"Ada lagi?"
"Sudah. Kamu ngga tanya kenapa?"
"Kenapa?" tanya Ella, suaranya yang lirih lebih mirip sebuah bisikan.
Ray mendekatkan bibirnya ke telinga Ella.
"Karena kamu hanya punya otak seorang wanita."
Diam. Tak ada satupun kata yang terucap. Beberapa lama, sampai Ray melihat tetes-tetes air membasahi rok yang dikenakan Ella. Pemuda itu tersenyum, sedikit kagum menyadari bahwa tak ada isak yang keluar dari bibir gadis itu, tak pula bahu yang berguncang. Hanya urat-urat yang semakin menonjol dari jemari yang mencengkeram tepian kursi.
"Aku.. ya.. aku seorang wanita.."
"Kamu tak tega pada mantan suamimu, kan? Meski apapun yang telah ia perbuat padamu lebih jahat dari seekor binatang?"
Ella mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetes-tetes air semakin banyak jatuh ke pangkuan gadis itu.
Ray melangkahkan kakinya sampai ke depan Ella. Pemuda itu menarik keluar rokok dari jepitan bibirnya dan membungkuk, sampai ia bisa melihat air mata itu jatuh dari wajah si gadis.
"Ella yang gagah. Ella yang tegas. Ella yang ditakuti banyak lelaki," bisik pemuda itu, "Ella yang lemah. Ella yang kebingungan. Hanya satu hal yang kamu harus sadari untuk memecahkan segalanya."
Ella tak menyahut.
"Kamu.. wanita.. asalnya dari laki-laki juga. Satu bagian kecil dari otak dungu kewanitaanmu, itu adalah pikiran lelaki yang tersisa saat Tuhan menciptakan wanita. Orang-orang seperti kamu, memang punya getir hidup untuk membangkitkan pemikiran di atas ambang rata-rata wanita. Tapi tetap saja, saat kamu membatasi dirimu dengan mengatakan bahwa semua lelaki adalah sama, itu tak ada bedanya dengan menutupi bagian kecil yang tersisa itu dengan ego wanitamu. Dengan rasa sakitmu. Dengan getir yang kamu kira adalah mahaguru dari segala pengertian tentang hidup. Bukannya tambah perkasa, kamu semakin lemah tak berdaya. Kewanitaanmu yang semakin besar, hari demi hari."
Ray mengangkat tubuhnya.
"Aku dulu juga seperti kamu. Dan satu wanita membuatku lemah tak berdaya, saat aku merasa bahwa aku adalah pria yang kuat dan perkasa untuk setiap wanita. Sama seperti kamu beranggapan bahwa kamu bisa membodohi David untuk uangnya, ternyata kamu mandah terima dipukuli mantan suamimu. Lalu apa yang kuperbuat? Jika semula aku menantang, maka sekarang aku berlari. Bukan berlari lintang pukang. Tapi berlari, memutar ke belakang, dan menyerang tanpa diduga. Untuk itu aku berjuang. Setiap hari memahami wanita-wanita di sekelilingku. Mengetahui apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka benci, mengingat semua karasteristik unik yang ada di dalam diri mereka.
Lalu saat aku sudah mengerti. Saat itulah aku merasa benar-benar perkasa. Tak ada satupun wanita yang bisa membuatku sakit hati. Tak ada satupun."
Ella mengangkat kepalanya, matanya yang basah menatap Ray.
"Kamu bisa bilang begitu. Kamu laki-laki!" desis Ella. Ray tertawa.
"Tak ada bedanya! Hanya jika kamu tahu apa yang harus kamu pahami untuk menang!"
Ray membungkukkan badannya lagi. Matanya menatap mata Ella dalam-dalam.
"Wanita, punya perasaan yang berbeda-beda. Kalau aku paham, aku bisa memainkannya. Pria punya ego yang berbeda-beda pula. Kalau kamu paham, kamu bisa memainkannya. Ngerti?"
Ella terdiam.
"Aku jadi kamu, kuancam suamimu dengan niat untuk mengadukannya pada polisi. Kalau dia mengancam untuk bercerita masalah David, biarkanlah. Katakan padanya, kalau kamu dipecat, dengan kapasitas otak kamu yang baru takkan susah mendapatkan pengganti David. Kuberitahu sebuah bocoran tentang ego mantan suamimu, dan kamu harus mencarinya sendiri pada setiap lelaki yang kamu temui kelak. Mantan suamimu merasa ia bisa menguasaimu, jadi lenyapkanlah perasaan berkuasanya atas kamu."
"Kalau ia memukulku lagi?" Ella bertanya. Ray tersenyum girang saat mendapati nada suara gadis itu sudah kembali seperti biasa, walau masih agak sendu.
"Jangan jatuh. Tetaplah berdiri dan tatap matanya dalam-dalam. Buktikan bahwa kamu sungguh-sungguh."
"Tapi aku.."
"Ngga tega? Itu yang kumaksud dengan melenyapkan. Lupakanlah semua tentang dia. Mungkin itu susah, tapi itulah resiko untuk menjadi orang yang kuat. Tak ada perasaan. Matikan otak wanitamu, dan kembangkan otak priamu. That's all. Kalau kamu tidak bisa, yah, aku doakan selamat beruntung menjalani hidup. Oh, jangan lupa besok pakai bedak tebal ke kantor."
Usai berkata demikian Ray mengangkat tubuhnya dan melangkah menuju meja dimana tas dan jaketnya berada.
"Ray," panggil Ella sebelum Ray menekan tombol elevator. Ray menoleh dan melihat Ella tersenyum padanya.
"Thanks anyway."
"Sure," sahut Ray, masih sempat melihat kepala Ella yang kembali tertunduk sebelum pintu elevator menutup.
Ray melangkah menelusuri basement sambil menyeringai. Malam yang menyenangkan, sekaligus melelahkan. Ray merasa lebih memilih untuk tidur daripada berkeliaran tak tentu arah.
Mungkin ia tadi telah menanamkan sesuatu di benak Ella. Mungkin juga sesuatu itu adalah sesuatu yang salah. Mungkin berguna, mungkin tidak. Kalau Ella memahami semua doktrin-nya, gadis itu akan berubah menjadi sosok yang lebih menyenangkan. Juga menakutkan. Siapa yang bakal membantah, bahwa wanita yang paham tentang seluk beluk pemikiran lelaki adalah wanita yang paling berbahaya untuk didekati?
Ray tak sabar menunggu hal itu terjadi.
Dan saat itu, mungkin hanya Ray sendiri yang bisa mengatasinya. Seperti seorang guru silat, Ray memang tak pernah mewejangkan jurus pamungkasnya. Apa itu?
Bersambung Ke Bagian 5